Minggu, 29 Juni 2008

Buat Wagiyem

Yem, aku sudah kerja
Jaga wc di stasiun kereta
untung, daripada minta-minta

Yem, aku sudah bergaji
Tujuh ribu sehari
lumayan buat nahan mati

Yem, aku lihat kamu nggembol karung
Berapa kilo rongsok kau kumpul
Pasti berat ya semua kau panggul
di pundakmu yang kurus itu

Yem, aku pengen bantu
tapi kakiku sebelah buntung
bekas ketabrak dahulu
mobil itu lari, kamu tahu

Yem, kita musti sabar hati
karna gusti sudah janji
dia sayangi sabarnya insani
yang ikhtiar tiap hari

Yem, kita harus kuat
Semua ada hikmahnya
Kalo tidak ada,
pasti gusti juga

Stasiun Tugu, 26 Juli 2008

Rabu, 25 Juni 2008

Surat Pengakuan

Bersama lembar kertas berisi puisi, saya juga temukan lembaran kertas robek yang berisi tulisan sebagai berikut:

Bagi kami, ateisme bukanlah kepercayaan bahwa tidak ada Tuhan, tapi tiadanya kepercayaan terhadap Tuhan. Kami ateis bukan karena kami betul-betul yakin 100% bahwa tidak ada Tuhan. Bagamana mungkin membuktikan ketiadaan Tuhan? Kami ateis karena ada sedikit saja bukti di sekitar kehidupan kami mengenai keberadaan-Nya. Kami ateis juga karena ada sedikit saja bukti di sekitar kehidupan kami bahwa agama itu penting artinya bagi kemanusiaan. Kami sendiri terbuka bila memang ada bukti-bukti yang meyakinkan bahwa Sesuatu itu ada. Selama tidak adanya bukti-bukti tersebut, kami tidak akan mempercayai keberadaan-Nya.

Bagi kami juga, ateisme bukanlah kepercayaan bahwa Tuhan itu tidak ada, tapi lebih sebagai tiadanya kebutuhan akan Tuhan. Kami ateis karena Tuhan tidak kami butuhkan, entah Dia ada atau tidak kami tidak peduli. Kami tidak peduli apakah ada surga bagi kebaikan kami dan ada neraka untuk ketidakbaikan kami. Kami hanya berusaha hidup di dunia ini sebaik-baiknya bagi kemanusiaan tanpa peduli apakah ada kehidupan di dunia lain atau tidak.

Surat buat Tuhan

Kutemukan puisi berima indah:

A Letter to God
karya S.R. Garg

My dear God, I ask you,
Simple questions, only a few.

You are said to be every where,
But your management is not fair.

Robberies, thefts, rape and abduction,
Cheating and looting, injustice, corruption.

Slaughter and murder for sacrifice,
You are witness to all this vice.

Carried on proudly in your name,
It is a matter of sorrow and shame.

You throw the rain without plan,
Floods and famines afflict the man.

You cannot defend any temple or church,
And leave your devotees in the lurch.

During fanatical religious crusades,
The Holy places are ruined by raids.

When any man is planning a crime,
He should be checked at that time.

Why to give a chance for vice,
Then to punish with some device.

People are punished for their deed,
Without giving any chance to plead.

Punishment blind and unjustified,
Is resented and sometimes defied.

As avtars are sent without intimation,
They have to face challenge & condemnation.

To a certain region, they are confined,
The world at large, they do not mind.

Why so many different religions grew,
One Religion and one Book could do.

If all of them are true and right,
Why then, for conversion they fight?

Heaven is blessed with streams of wine,
Sexy Nymphs, beautiful and fine.

A pious noble and a virtuous man,
Can't relish such a lusty plan.

Bhagawans and Gurus, under your name,
Befool the people and cunningly tame.

These religious shops of different 'make',
Are not known whether genuine or fake.

You are the product of imagination,
Without any logical confirmation.

You are believed as mover, unmoved,
Your existence has not been proved.

Let me know your whereabouts,
So that I may shed my doubts.

If within a month, I do not hear,
Your non-existence will be clear.

Kamis, 19 Juni 2008

Andai Kau Ada di Sini

di kakimu, matahari pergi dan datang
pembual mondar-mandir bawa timbangan
jembel-jembel gentayangan cari makan
setan bersayap malaikat keliling bagi-bagi remah
sudah berapa lama sih sejak spartakus?
buatku lama betul kejadian itu
bagimu mungkin sekejap melulu

sekarang beras mahal
nyawa bayi murah-meriah
hidup dibuang seperti sampah
kau sepertinya tidur terus
coba deh lihat di bawah kakimu
sesekali tengok kami di situ
atau kirim sms soal maksudmu

kau sih enak terlalu mahaesa
belum pernah rasakan perang
di sini, orang maen gebuk atas namamu
apa kau tidak menyesal bikin ayat-ayat provokatif?
atau memang biar kau ada kerjaan?

andai saja kau ada di sini, di bumi ini... tuhan

Primum vivere, deinde philosophari

Selain tidak bermanfaat dan agak berbahaya, filsafat juga ternyata mahal. Jarang ada tokoh filsafat taraf dunia yang berasal dari keluarga kere. Plato anak bangsawan. Ibunya masih kerabat dengan Solon, pembuat undang-undang termasyur itu. Hegel, Marx, Sartre, atau Kierkegaard juga tidak begitu jauh jalan ceritanya. Paling-paling, ada Kant yang anak tukang atau Spinoza yang setelah dikafirkan dari sinagoganya menghidupi diri sebagai tukang asah gelas dan kacamata. Mengapa filsafat mahal? Ingat, filsafat itu tidak berguna untuk kehidupan sehari-hari. Teramat sedikit golongan manusia di muka bumi ini yang perlu filsafat. Segala yang tidak berguna itu biasanya mahal. Batu permata dan politik itu mahal karena tidak berguna.

Mahalnya filsafat juga karena ada prasyarat fisiologis bio-kimia yang mesti terpenuhi dulu. Kita mesti sudah selesai soal pasokan karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin serta keterjaminannya bukan sekadar satu-dua hari ke depan. Selain itu, ada pula prasyarat sosialnya. Kita mesti sudah siap melarikan diri dengan selamat kalau-kalau masyarakat mengutuk pemikiran kita. Untuk bisa kabur, kita tidak hanya perlu ongkos, tapi juga teman-teman yang terjalin dengan baik. Semua itu butuh biaya (waktu luang dan uang). Dengan lain kata, ongkos produksi untuk menghasilkan filsafat itu tinggi. Tepat betul pesan Schopenhauer, “Primum vivere, deinde philosophari” (Hidup dulu, baru berfilsafat).

Rabu, 18 Juni 2008

Awas Ada Pertanyaan!

Kemarin saya sudah tahu bahwa filsafat itu agak berbahaya buat kawula muda. Buat apa sih cari jawaban sendiri segala macam pertanyaan mendasar. Untuk soal “siapa sih manusia? atau benarkah tuhan itu ada?”, sepertinya saya tidak perlu susah payah mikirin sendiri. Di dunia ini sudah banyak hamparan jawaban yang tinggal kita copy-paste. Semua agama resmi punya berkarung-karung jawaban siap pakai. Kita nggak perlu sok kreatif dalam hal-hal mendasar hidup kita ini. Terima saja jawaban-jawaban yang sudah lumrah supaya kita tidak banyak bedanya dari orang-orang sekitar. Beda soal gaya rambut nggak terlalu masalah, tapi kalo beda pemikiran soal tuhan, bisa digebuk bambu runcing.

Tapi namanya juga manusia itu mahluk yang lemah. Ada saja godaan setan yang menyusup ke relung batin. Seringnya, godaan itu mewujud dalam pertanyaan-pertanyaan iseng. Misalnya begini: waktu sendirian kepikiran juga “sebenarnya apa sih alasan saya lahir pada waktu itu dari keluarga yang itu di kampung yang itu?” Seandainya boleh milih, saya akan pilih lahir di Cina sekitar abad ke-13 supaya saya bisa bahasa Cina dan kenalan sama Jenghis Khan. Nyatanya saya tidak bisa milih. Terus ada yang membisiki, “Siapa sih kamu ini sebenernya? Buat apa kamu ada di dunia ini? Apa sama saja kamu dengan burung puyuh itu yang lahir, besar, tua, lalu mati? Setelah mati, kamu akan jadi seperti apa? Apa bener jadi roh yang ditimbang-timbang amalnya? Atau cuma jadi rantai-karbon yang jutaan tahun ke depan jadi BBM? Kalo bener manusia itu ciptaan Tuhan, apa susahnya sih Dia susupkan gen kasih sayang tanpa syarat supaya manusia ngga saling gebuk? Kalo kekerasan itu untuk ujian bagi yang beriman, apa susahnya sih Tuhan yang Mahakuasa itu ngasih ujian lain selain kekerasan dan kebrutalan? Kalo semua pasti ada hikmahnya, apa susahnya sih Dia tentukan hikmah yang ngga pake berdarah-darah? Jangan-jangan xxxxx xxx Tuhan?!”

Minggu, 15 Juni 2008

Qui peur de la philosophie?

Siapa sih yang takut filsafat? Ini judul tulisan Jacques Derrida, dedengkot filsafat dekonstruksi dari Prancis. Isinya pembelaan terhadap pengajaran filsafat di tingkat sekolah menengah atas. Mengapa mesti dibela? Karena waktu itu filsafat dipertanyakan manfaatnya. Konon, para pengusaha dan pejabat-pejabat pemerintah bertanya, “Buat apa sih filsafat diajarkan?” Sinis, memang. Tapi pertanyaan mereka banyak benarnya juga. Sepanjang sejarahnya, filsafat cuma mengajarkan sejarah dirinya sendiri. Para filsuf pun tidak punya satu kata sepakat mengenai buat apa memberi pelajaran filsafat. Jangankan soal manfaat filsafat, untuk batasan ‘apa sih filsafat itu?’, para filsuf sudah kelabakan menjawab. Dari abad ke abad, simbah peluh tampaknya tidak kian susut saat para filsuf membincangkan filsafat itu sendiri.

Secara positif memang sukar menakar guna filsafat buat kehidupan sehari-hari kita. Paling-paling, kita menelusurinya lewat jalan putar, terutama secara negatif. Secara negatif, belajar filsafat tidak bisa bikin orang lihai membuat blog. Dengan belajar filsafat orang tidak akan ahli memasarkan kosmetik. Membaca buku filsafat dan merenungkan pemikiran di dalamnya bukan pula acara hiburan menyenangkan. Lho, mengapa tidak? Karena filsafat itu seperti godam terhadap tembikar atau arit terhadap rerumputan. Bila sungguh-sungguh, filsafat bisa memreteli pandangan-pandangan yang sudah umum dianggap biasa, termasuk yang kita pahami sebagai sesuatu yang semestinya. Filsafat sama sekali bukan hiburan karena melelahkan jiwa dan raga. Ia membawa kita ke dunia antah-berantah tanpa ada ujungnya. Karena reflektif, filsafat isinya cuma pertanyaan karena yang isinya jawaban itu agama. Lebih parah lagi, pertanyaan-pertanyaannya beranak-cucu sangat panjang. Merleau-Ponty, filsuf Prancis temannya Sartre, pernah bilang, “... bila kita mulai berfilsafat, maka kita belum tahu di mana perjalanan akan berakhir.” Dengan lebih serem lagi, Bertrand Russel juga pernah bilang, “siapa pun yang ingin menjadi filsuf, harus belajar tidak takut pada absurditas-absurditas”. Bukannya memberi jawaban, filsafat malah menyediakan pertanyaan. Cari-cari kerjaan!

Nah, itulah sebabnya tak sedikit orang mempertanyakan untuk apa belajar filsafat. Tapi alhamdulillah, kita di sini, di Indonesia, tidak wajib belajar filsafat. Para siswa sekolah menengah di Prancis wajib ikut pelajaran filsafat. Runyam urusannya kalo itu diterapkan di Indonesia. Bagaimana tidak, dengan diwajibkannya pelajaran filsafat, bisa-bisa kelakuan anak-anak muda kita jadi aneh. Mereka tidak akan lagi tempur antar-genk atau tawuran antarsekolah dan malah diskusi soal “Apa sih cinta itu?”, “Apa sih hakekatnya?” Apakah benar cinta itu soal hati, ataukah cuma kumpulan reaksi bio-kimia saja?”, atau yang lebih parahnya, bisa-bisa mereka berdiskusi di kantin soal Tuhan, “benarkah Tuhan itu Mahakuasa?”, “Sebetulnya Tuhan itu apa sih? Hukum Alam?, Roh Absolut? atau justru sebenarnya tidak ada Tuhan?”, dst. Untungnya semua itu tidak terjadi karena di Indonesia yang wajib adalah belajar agama.

Rabu, 11 Juni 2008

Richter

Tuhan tidak ada
Tuhan telah mati!
Surga kosong
Menangislah wahai anak-anak,
Kalian tidak memiliki Bapak!
(Jean-Paul Frédéric Richter)

Selasa, 10 Juni 2008

Bilik Bambu yang Terbuat dari Bambu

Aku seorang pembuat bilik bambu. Sudah puluhan tahun aku mencari nafkah dengan membuat dan menjual bilik-bilik bambu. Bilik-bilik itu kubuat dari batang-batang bambu yang harus kubeli. Sebilah bambu harus kubeli seharga 5000 rupiah dari tetanggaku yang punya kebon bambu. Untuk membuat selembar bilik bambu, paling tidak aku butuh satu bilah. Karena usiaku sudah tak muda lagi, biasanya dalam sepuluh hari aku hanya mampu membuat dua lembar bilik. Kemiskinan telah memeras tenagaku hingga tetes terakhir. Dari rumahku di lereng Manglayang, bilik-bilik bambu yang sudah jadi kupanggul ke daerah permukiman. Siapa tahu di sana ada yang membutuhkan. Minggu ini, kubawa dua lembar bilik bambu. Sudah tiga hari lebih aku berkeliling menjajakannya tanpa laku selembar pun. Jaman sudah berubah banyak sekali. Sekarang orang lebih banyak yang membangun rumah gedong. Sedikit sekali mereka memerlukan bilik-bilik bambuku. Sementara itu hidupku dan hidup keluargaku terus saja dirundung kemiskinan. BLT memang memberiku uang tunai. Uang itu bisa kugunakan untuk membeli beras yang sekarang harganya 5000 rupiah per liter. Selain juga untuk melunasi hutang-hutangku di warung langganan. Dalam harap aku bayangkan: bila dua lembar bilik bambunya laku, aku membawa pulang 20-40 ribu rupiah. Tapi entah hari keberapa keduanya laku.

Aku punya lima orang anak. Kini semuanya sudah berkeluarga. Aku punya 12 cucu sekarang. Seperti juga aku, anak-anakku hampir semuanya mencari nafkah dengan membuat bilik-bambu. Sekarang mereka masih muda-muda. Tidak sepertiku yang hanya mampu panggul dua lembar saja, mereka masih mampu membuat dan memanggul enam bilik untuk dijual. Tapi seberapa lama mereka mampu bertahan?

simpan

simpan nyawamu sampai selasa
karena duka adalah irama