Sabtu, 27 September 2008

Tapi dari Tombak

Para filsuf sejati, jenis manusia supra-pengangguran yang sanggup hidup hanya dengan mengutak-atik kata dan gejala, konon lahir dari rahim masyarakat dagang Yunani abad ke-6 Sebelum Masehi. Para pelamun bijak dari masyarakat pendukung perbudakan itu diagung-agungkan sebagai penemu cara pikir filsafati. Tidak seperti sepupu mereka dari lereng Himalaya, orang-orang macam Thales atau Anaximander tidak berpaling pada mitos untuk menjawab dasar hakiki segala ada. Mereka tidak mencipta sosok Siwa yang paradoks atau Brahman yang kosong. Mereka mencipta Arkhe yang linier dan tunggal. Corak pikir seperti inilah yang memungkinkan kebangunan filsafat dan ilmu dalam sejarah manusia. Namun, corak pikir ini pula yang bisa membunuhnya.

Manusia menunggu dua milenium untuk membunuh tuhan-tuhan kuno mereka dan menciptakan yang baru; yang tidak terbuat dari bual khayal, tapi dari tombak dan kertas berangka.

Kamis, 25 September 2008

Cerita 1

Ketika kami baru saja beranjak dari tidur panjang primata, dunia tampak menakutkan. Betapa tidak. Kami harus memberi nama semua yang ada di sekitar kami. Kami juga mesti memberi jawaban atas ‘mengapa’ peristiwa-peristiwa. Tanpa teleskop, tanpa tabel kimia, tanpa mikroskop, tanpa kalkulus, kami berupaya berhadapan dengan misteri halilintar, gempa, kesuburan, banjir, dan penyakit lalu harus menamainya. Kami namai dewa-dewa untuk daya-daya alam. Lalu kami namai tuhan untuk daya-daya semesta yang kami bayangkan bersosok seperti kami.

Rabu, 24 September 2008

Tips 2

Tak ada obat yang lebih mujarab untuk penyakit jiwa selain kesibukan serius dari pikiran kita dengan objek-objek lain (Voltaire).

Jumat, 12 September 2008

Tips

Tenang berbaring dan sedikit berpikir adalah obat yang paling murah untuk segala penyakit jiwa dan dengan kehendak baik jam demi jam pemakaiannya akan makin nyaman (Nietzsche)

Selasa, 02 September 2008

Kata Amartya Sen

Amartya Sen, ekonom India penerima Nobel pernah diwawancara oleh Pranab Bardhan, profesor ekonomi keturunan India di University of California at Berkeley. Dalam salah satu bagian yang membincangkan soal identitas ke-India-an dan bahaya chauvinisme Hindu kontemporer, Amartya Sen menyatakan:

“Dalam banyak hal orang-orang telah terbiasa dengan gagasan bahwa India itu spiritual dan berorientasi keagamaan. Hal itu mengantar pada tafsir religius tentang India meski kenyataannya bahwa Sansekerta memuat kepustakaan ateistik lebih banyak daripada yang ada dalam bahasa klasik yang lainnya. Bahkan dalam tradisi Hindu ada banyak orang yang ateis. Madhava Acharya, seorang filsuf abad ke-14, menulisnya dalam buku besarnya, Sarvadarshanasamgraha, yang mendiskusikan semua aliran pemikiran religius dalam tatanan Hindu. Bab pertamanya ialah [tentang ajaran] ‘Ateisme’” (California Magazine, vol. 117, no. 4, July-Agustus 2006).

Buat saya pernyataan Amartya Sen cukup mengejutkan. Saya kenal India itu negerinya para Yogi dan pertapa yang betah berhari-hari samadi tanpa makan-minum. Dewa-dewi jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan rakyatnya. Sepintas India tampak sepenuhnya spiritual atau paling tidak aroma spiritualitas seperti kari yang mengisi menu makanan tradisionalnya. Nyatanya, India menyimpan berlembar-lembar sejarah pemikiran ateistik dan materialisitik jauh sebelum Inggris menjajah mereka dan memperkenalkan pemikiran Eropa. Ateisme dan materialisme tumbuh dari akar peradaban India sendiri. Malah, keberadaan para pemikir ateis-materialistik India lebih dahulu daripada sejawatnya di Yunani dan Cina Kuno.

Kata para ahli, di dalam Rg Veda, kumpulan kidung-kidung Veda tertua, misalnya, pemikiran ateistik dan materialistik sudah menelusup ke dalam alam pikiran India. Corak pemikiran materialistik juga terekam dalam Satapatha Brahmana yang di situ seorang bijak pernah menyatakan bahwa: “asal-mula segala permulaan adalah air”.

Dalam Brhadaranyaka Upanishad ada pertanyaan seperti: “Ketika yang fana mati, dari akar apa dia bisa tumbuh kembali?” Pertanyaan serupa juga muncul dalam Mahabharata: “Jika akar sebuah pohon yang dicabut saja tidak tumbuh lagi meskipun benihnya berkecambah, di mana orang yang telah mati kembali lagi?” Ayat lain dari Brhadaranyaka menyatakan bahwa ketika seseorang mati, maka ia akan terurai menjadi unsur-unsur pembentuknya sehingga setelah mati tidak ada kesadaran lagi. Dalam Katha Upanishad juga dikisahkan ada sekelompok pertapa yang mengajarkan ‘inilah dunia dan tak ada yang lain’ dan mereka menolak pandangan bahwa ada yang bertahan setelah kematian.