Saya pernah tertipu. Waktu itu malam gelap. Sudah beberapa hari gerimis turun dari pagi hingga malam. Matahari tentu saja masih ada di siang hari, dia hanya tertutup awan. Bumi temaram sepanjang siang dan pekat sepanjang malam. Di antara siang dan malam, hanya nyamuk sial yang lahir terlalu dini yang berupaya bertahan hidup dari rumah ke rumah. Senja itu temaram, 80 persen gelap. Kuberjalan hati-hati menuju kontrakan lewat jalan pintas melewati kebun. Percik cahaya neon dari kamar mandi tetangga sebelah menuntunku menemukan celah kering di antara genangan. Tiba-tiba ada sosok bayangan di dekapan gelap bergerak-gerak. Lambaian tangannya seperti sapu tangan Lady Di diterpa angin musim gugur Birmingham atau sari Bunda Theresa tertiup angin kemarau Kalkuta. Aku tertegun sejenak. Kubayangkan dia, yang selama ini sering diceritakan orang kepadaku, berdiri di sana. Ya, dia ada rupanya. Jelas, dia di situ hendak menguji imanku. Retinaku bekerja keras memeras partikel cahaya yang tersisa. Tebar cahaya neon dari kamar mandi tetangga sebelah sudah menipis. Sisa-sisa cahayanya mempercepat hormon ketololan yang tergenjot cepat naik dari dengkul ke benak. Ketika alunan percaya mulai merasuki pikiran lelahku yang telah seharian bekerja, seperempat detik bagai kelebat kilat yang pernah dianggap sebagai Cambuk Dewa itu, kepercayaanku pudar. Gerobak nasi goreng menderu ke arah kami. Cahaya petromaks menyibak tabir. Alhamdulillah, ternyata dia hanya sebatang pohon pisang dengan daun meliuk-liuk diterpa angin musim hujan.
Kutarik hikmah dari sisa-sisa tabir yang sedang menguap itu: hanya orang-orang dalam kegelapan yang percaya bahwa akar pohon randu adalah ular. Terima kasih, petromarks.
Minggu, 14 Desember 2008
Selasa, 09 Desember 2008
Persoalan terakhir
Di kamar kontrakan, beberapa menit sebelum mandi, aku tengadahkan wajah ke langit senyap dan bersyukur kepadamu tuhan bahwa aku masih tidak mempercayai keberadaanmu.
Selesai mandi, sambil membereskan persoalan upil terakhir yang tersudut di dinding atas lubang hidungku, aku mengagumi tetes-tetes godaan untuk percaya yang hampir selalu mampir seperti air hujan yang masuk ke kamar lewat genting retak. Mungkin penting bagiku mempercayaimu, karena meski tidak begitu besar namun kuterima gaji bulanan dan bisa memilih makan apa besok siang di warteg. Tetapi engkau sama sekali tidak penting buat rakyat jelata selain sebagai badut yang mendongeng soal tetek-bengek kehidupan bahagia di balik derita ketika mereka hendak teriakkan TIDAK kepada kebobrokan dunia ciptaanmu!
Aku sama sekali tidak mual kepadamu. Engkau tidak begitu bacin dan berlendir. Aku juga tidak membencimu. Engkau toh tidak begitu pelit seperti dosen killer yang pernah memberiku nilai C tiga tahun berturut-turut. Aku hanya tidak habis pikir, sebetulnya apa sih arti pentingmu untuk ada di dalam benak-benak mereka itu. Mungkin kau pikir aku terlalu bebal karena aku tidak menemukan hikmah secuil pun di balik tai kucing yang mengering di pojokan itu. Mungkin kau pikir aku reinkarnasi keledai karena tidak bisa melihat cahayamu di balik pekatnya penindasan.
Bila engkau liang keuyeup, aku sudah menutupmu dengan lumpur belasan tahun lalu. Bila engkau elang Jawa, pemburu dalam jiwaku telah membuatmu punah belasan tahun lalu. Jangan pernah datang lagi padaku dalam rupa apapun. Aku harap mengertilah. Godaan yang kau tawarkan dalam 40 hari perenungan ini tidak akan berhasil. Engkau tahu, manusia tidak hanya hidup dari roti, tapi harus dengan selai kacang, bubuk coklat, atau parutan kejunya juga.
Selesai mandi, sambil membereskan persoalan upil terakhir yang tersudut di dinding atas lubang hidungku, aku mengagumi tetes-tetes godaan untuk percaya yang hampir selalu mampir seperti air hujan yang masuk ke kamar lewat genting retak. Mungkin penting bagiku mempercayaimu, karena meski tidak begitu besar namun kuterima gaji bulanan dan bisa memilih makan apa besok siang di warteg. Tetapi engkau sama sekali tidak penting buat rakyat jelata selain sebagai badut yang mendongeng soal tetek-bengek kehidupan bahagia di balik derita ketika mereka hendak teriakkan TIDAK kepada kebobrokan dunia ciptaanmu!
Aku sama sekali tidak mual kepadamu. Engkau tidak begitu bacin dan berlendir. Aku juga tidak membencimu. Engkau toh tidak begitu pelit seperti dosen killer yang pernah memberiku nilai C tiga tahun berturut-turut. Aku hanya tidak habis pikir, sebetulnya apa sih arti pentingmu untuk ada di dalam benak-benak mereka itu. Mungkin kau pikir aku terlalu bebal karena aku tidak menemukan hikmah secuil pun di balik tai kucing yang mengering di pojokan itu. Mungkin kau pikir aku reinkarnasi keledai karena tidak bisa melihat cahayamu di balik pekatnya penindasan.
Bila engkau liang keuyeup, aku sudah menutupmu dengan lumpur belasan tahun lalu. Bila engkau elang Jawa, pemburu dalam jiwaku telah membuatmu punah belasan tahun lalu. Jangan pernah datang lagi padaku dalam rupa apapun. Aku harap mengertilah. Godaan yang kau tawarkan dalam 40 hari perenungan ini tidak akan berhasil. Engkau tahu, manusia tidak hanya hidup dari roti, tapi harus dengan selai kacang, bubuk coklat, atau parutan kejunya juga.
Senin, 08 Desember 2008
Dear Wartawan
Beberapa waktu ke depan mungkin kamu akan bertarung mempertahankan hidup yang masih mimpi itu melawan kenyataan berkembangbiaknya banyak khurafat, salah satunya “... berupa ketakutan berukuran sekotak kecil yang dapat dibawa perempuan ke manapun... dan fungsi yang sangat penting dari posisi perempuan sebagai sosok cantik (yang ketakutan) adalah untuk membeli lebih banyak barang demi tubuhnya...” (Naomi Wolf, The Beauty Myth).
Kamis, 04 Desember 2008
Lumpur Bakrie
Kasus semburan lumpur Lapindo mengajariku beberapa hal sebagai berikut:
1) ilmuwan dan kapitalis bekerja sama coba kelabui orang awam bahwa kejadian itu ulah alam. Buat yang tidak mau kerja sama, silahkan ngojek untuk biayai sekolah anak-anaknya,
2) media massa, sejauh tidak ada kepentingan si pemilik kapitalnya dalam suatu persoalan akan tetap menayangkan berita kepiluan para korban,
3) pemerintah paling suka menjadi resi bijaksana dan lemah-lembut kepada mereka yang kuat,
4) kapitalis itu mahluk paling mulia yang pernah diciptakan setan,
5) tuhan terlalu tidak penting untuk diajak kerjasama.
1) ilmuwan dan kapitalis bekerja sama coba kelabui orang awam bahwa kejadian itu ulah alam. Buat yang tidak mau kerja sama, silahkan ngojek untuk biayai sekolah anak-anaknya,
2) media massa, sejauh tidak ada kepentingan si pemilik kapitalnya dalam suatu persoalan akan tetap menayangkan berita kepiluan para korban,
3) pemerintah paling suka menjadi resi bijaksana dan lemah-lembut kepada mereka yang kuat,
4) kapitalis itu mahluk paling mulia yang pernah diciptakan setan,
5) tuhan terlalu tidak penting untuk diajak kerjasama.
Langganan:
Postingan (Atom)