Kemarin malam aliran listrik padam. Ketika hendak membeli lilin ke warung, di tanah lapang Tuhan menuntun saya menengadah. Tinggal di pinggiran wilayah pinggirannya kota ada untungnya. Polusi cahaya di sini belum separah Bandung atau Jakarta. Itu membuat bintang-gemintang jelas terlihat. Entah berapa lama terakhir saya pandangi langit. Semangat sok romantis tiba-tiba bergelora.
15 milyar tahun cahaya yang lalu mereka belum ada. Semesta barulah titik singularitas. Energi titik yang mahapadat itu meronta. Kontradiksi di dalamnya merunyak dan meledaklah ia. Para nabi menyebutnya Ledakan Mahadahsyat. Seperti kumpulan debu yang tertiup angin, materi-materi padat energi menyebar; melesat saling menjauh. Salah satu yang terlontar dari gejolak pembebasan itu adalah rumah kita: bumi. Ia lahir dari tarian liar materi berenergi 3-4 milyar tahun yang lalu. Saudara-saudara dekatnya, planet-planet tatasurya, juga lahir di masa tak jauh beda. Selama ini mereka diasuh bibi matahari. Mereka tumbuh dan besar di naungan terangnya. Bibi matahari tidak akan melepas kehangatannya, paling tidak sampai 15 milyar tahun yang akan datang, hingga nanti ia jatuh sakit karena kontradiksi dirinya sendiri.
Seperti anak-anak ayam, putra-putri dari Yang Mahapadat yang kini saling menjauh tidak kuat menahan rindu tuk saling jumpa. Bagaimana pun kodrat mereka adalah satu. Kerinduan purba menghantar mereka berpelukan bila ada kesempatan. Tidak jarang kerabat jauh bumi mendatanginya. Mereka mencium dataran Siberia, padang Mexico, atau sekadar lewat memperlihatkan ekor mereka yang terbakar rindu. Sayangnya ciuman itu mendarat ketika sudah ada saudara evolusi kita, Dinosaurus. Mereka pun punah tinggal fosil. Kita, manusia, tinggal tunggu waktu karena saudara jauh bumi itu banyak, sebanyak bintang-gemintang yang sanggup kita hitung. Ada yang kecil, ada lebih banyak yang besar-besar.
Sungguh GR bila kita pikir manusia itu luar biasa. Manusia tak lebih setitik debu di Sahara semesta. Tanpa kita, semesta raya tidak akan bersedih. Betapa GR bila kita pikir kita itu penting. 15 milyar tahun tanpa manusia, semesta raya tidak kebingungan. Tanpa doa-doa manusia, semesta akan tetap seperti kodrat dirinya yang terus bergejolak karena kontradiksi internalnya.
Salawat serta salam teruntuk nabi penghabisan bagi penghuni bumi dan walinya yang menguak rahasia dialektika dan hukum kontradiksi semesta raya dan kehidupan manusia serta mengajarkan perjuangan menuju masyarakat tauhidi. Amin.
Senin, 07 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar