Aku seorang pembuat bilik bambu. Sudah puluhan tahun aku mencari nafkah dengan membuat dan menjual bilik-bilik bambu. Bilik-bilik itu kubuat dari batang-batang bambu yang harus kubeli. Sebilah bambu harus kubeli seharga 5000 rupiah dari tetanggaku yang punya kebon bambu. Untuk membuat selembar bilik bambu, paling tidak aku butuh satu bilah. Karena usiaku sudah tak muda lagi, biasanya dalam sepuluh hari aku hanya mampu membuat dua lembar bilik. Kemiskinan telah memeras tenagaku hingga tetes terakhir. Dari rumahku di lereng Manglayang, bilik-bilik bambu yang sudah jadi kupanggul ke daerah permukiman. Siapa tahu di sana ada yang membutuhkan. Minggu ini, kubawa dua lembar bilik bambu. Sudah tiga hari lebih aku berkeliling menjajakannya tanpa laku selembar pun. Jaman sudah berubah banyak sekali. Sekarang orang lebih banyak yang membangun rumah gedong. Sedikit sekali mereka memerlukan bilik-bilik bambuku. Sementara itu hidupku dan hidup keluargaku terus saja dirundung kemiskinan. BLT memang memberiku uang tunai. Uang itu bisa kugunakan untuk membeli beras yang sekarang harganya 5000 rupiah per liter. Selain juga untuk melunasi hutang-hutangku di warung langganan. Dalam harap aku bayangkan: bila dua lembar bilik bambunya laku, aku membawa pulang 20-40 ribu rupiah. Tapi entah hari keberapa keduanya laku.
Aku punya lima orang anak. Kini semuanya sudah berkeluarga. Aku punya 12 cucu sekarang. Seperti juga aku, anak-anakku hampir semuanya mencari nafkah dengan membuat bilik-bambu. Sekarang mereka masih muda-muda. Tidak sepertiku yang hanya mampu panggul dua lembar saja, mereka masih mampu membuat dan memanggul enam bilik untuk dijual. Tapi seberapa lama mereka mampu bertahan?
Selasa, 10 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar