Siapa sih yang takut filsafat? Ini judul tulisan Jacques Derrida, dedengkot filsafat dekonstruksi dari Prancis. Isinya pembelaan terhadap pengajaran filsafat di tingkat sekolah menengah atas. Mengapa mesti dibela? Karena waktu itu filsafat dipertanyakan manfaatnya. Konon, para pengusaha dan pejabat-pejabat pemerintah bertanya, “Buat apa sih filsafat diajarkan?” Sinis, memang. Tapi pertanyaan mereka banyak benarnya juga. Sepanjang sejarahnya, filsafat cuma mengajarkan sejarah dirinya sendiri. Para filsuf pun tidak punya satu kata sepakat mengenai buat apa memberi pelajaran filsafat. Jangankan soal manfaat filsafat, untuk batasan ‘apa sih filsafat itu?’, para filsuf sudah kelabakan menjawab. Dari abad ke abad, simbah peluh tampaknya tidak kian susut saat para filsuf membincangkan filsafat itu sendiri.
Secara positif memang sukar menakar guna filsafat buat kehidupan sehari-hari kita. Paling-paling, kita menelusurinya lewat jalan putar, terutama secara negatif. Secara negatif, belajar filsafat tidak bisa bikin orang lihai membuat blog. Dengan belajar filsafat orang tidak akan ahli memasarkan kosmetik. Membaca buku filsafat dan merenungkan pemikiran di dalamnya bukan pula acara hiburan menyenangkan. Lho, mengapa tidak? Karena filsafat itu seperti godam terhadap tembikar atau arit terhadap rerumputan. Bila sungguh-sungguh, filsafat bisa memreteli pandangan-pandangan yang sudah umum dianggap biasa, termasuk yang kita pahami sebagai sesuatu yang semestinya. Filsafat sama sekali bukan hiburan karena melelahkan jiwa dan raga. Ia membawa kita ke dunia antah-berantah tanpa ada ujungnya. Karena reflektif, filsafat isinya cuma pertanyaan karena yang isinya jawaban itu agama. Lebih parah lagi, pertanyaan-pertanyaannya beranak-cucu sangat panjang. Merleau-Ponty, filsuf Prancis temannya Sartre, pernah bilang, “... bila kita mulai berfilsafat, maka kita belum tahu di mana perjalanan akan berakhir.” Dengan lebih serem lagi, Bertrand Russel juga pernah bilang, “siapa pun yang ingin menjadi filsuf, harus belajar tidak takut pada absurditas-absurditas”. Bukannya memberi jawaban, filsafat malah menyediakan pertanyaan. Cari-cari kerjaan!
Nah, itulah sebabnya tak sedikit orang mempertanyakan untuk apa belajar filsafat. Tapi alhamdulillah, kita di sini, di Indonesia, tidak wajib belajar filsafat. Para siswa sekolah menengah di Prancis wajib ikut pelajaran filsafat. Runyam urusannya kalo itu diterapkan di Indonesia. Bagaimana tidak, dengan diwajibkannya pelajaran filsafat, bisa-bisa kelakuan anak-anak muda kita jadi aneh. Mereka tidak akan lagi tempur antar-genk atau tawuran antarsekolah dan malah diskusi soal “Apa sih cinta itu?”, “Apa sih hakekatnya?” Apakah benar cinta itu soal hati, ataukah cuma kumpulan reaksi bio-kimia saja?”, atau yang lebih parahnya, bisa-bisa mereka berdiskusi di kantin soal Tuhan, “benarkah Tuhan itu Mahakuasa?”, “Sebetulnya Tuhan itu apa sih? Hukum Alam?, Roh Absolut? atau justru sebenarnya tidak ada Tuhan?”, dst. Untungnya semua itu tidak terjadi karena di Indonesia yang wajib adalah belajar agama.
Minggu, 15 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar