Kamis, 19 Juni 2008

Primum vivere, deinde philosophari

Selain tidak bermanfaat dan agak berbahaya, filsafat juga ternyata mahal. Jarang ada tokoh filsafat taraf dunia yang berasal dari keluarga kere. Plato anak bangsawan. Ibunya masih kerabat dengan Solon, pembuat undang-undang termasyur itu. Hegel, Marx, Sartre, atau Kierkegaard juga tidak begitu jauh jalan ceritanya. Paling-paling, ada Kant yang anak tukang atau Spinoza yang setelah dikafirkan dari sinagoganya menghidupi diri sebagai tukang asah gelas dan kacamata. Mengapa filsafat mahal? Ingat, filsafat itu tidak berguna untuk kehidupan sehari-hari. Teramat sedikit golongan manusia di muka bumi ini yang perlu filsafat. Segala yang tidak berguna itu biasanya mahal. Batu permata dan politik itu mahal karena tidak berguna.

Mahalnya filsafat juga karena ada prasyarat fisiologis bio-kimia yang mesti terpenuhi dulu. Kita mesti sudah selesai soal pasokan karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin serta keterjaminannya bukan sekadar satu-dua hari ke depan. Selain itu, ada pula prasyarat sosialnya. Kita mesti sudah siap melarikan diri dengan selamat kalau-kalau masyarakat mengutuk pemikiran kita. Untuk bisa kabur, kita tidak hanya perlu ongkos, tapi juga teman-teman yang terjalin dengan baik. Semua itu butuh biaya (waktu luang dan uang). Dengan lain kata, ongkos produksi untuk menghasilkan filsafat itu tinggi. Tepat betul pesan Schopenhauer, “Primum vivere, deinde philosophari” (Hidup dulu, baru berfilsafat).

Tidak ada komentar: