Selasa, 01 Juli 2008

Perihal Demokrasi Borjuis

Demokrasi yang sekarang dijalankan di banyak negara dunia ketiga lebih merupakan dalih ajaib daripada kenyataan. Dengan dalih demokrasi, negara maju mengecam Indonesia. Tapi jelas sekali bukan dengan dalih demokrasi, CIA menumbangkan Allende dan menggantinya dengan Jendral Pinochet yang bengis, mendudukan Marcos sebagai despot lalim buat Filipina, atau memajukan Soeharto sebagai sultan Indonesia. Jelas bukan pula karena Kuwait itu negara demokratis hingga Amerika habiskan miliaran dolar untuk membelanya dari caplokan Irak.

Di Indonesia dan di negara-negara figuran dalam drama kapitalisme tua, cita-cita Francis Fukuyama sedang dijalankan sebaik-baiknya. Nabi blasteran Jepang pembawa wahyu neoliberal itu bilang bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme merupakan capaian terakhir sejarah umat manusia. Tidak akan ada lagi sistem politik dan ekonomi yang baru dan melampaui keduanya. Sejarah manusia sudah selesai di sini. Babak selebihnya hanyalah catatan kaki dan perbaikan kecil-kecilan. Tidak akan ada bisa mengubah kenyataan ini. Karena semuanya sudah suratan takdir historis. Pandangan sejenis ini persis seperti yang dianut kaum fundamentalis agama dan Marxis ortodoks. Bedanya, bila kaum fundamentalis melihat ke masa lalu dan Marxis ortodoks melihat ke masa depan, maka Fukuyama melihat ke sekarang.

Benarkah demokrasi liberal takdir terakhir perjalanan manusia yang harus dianut semua jenis mahluk berkaki dua yang ajaib ini di delapan penjuru mata angin? Suatu kali, Muhammad Iqbal bilang “Demokrasi borjuis cenderung memperkuat semangat percaya bulat-bulat pada hukum formal. Kepercayaan pada hukumnya sendiri tidaklah jahat, tapi sayangnya ia cenderung mengganti sudut pandang moral murni dan menyamakan sesuatu yang ilegal dengan sesuatu yang salah secara moral.”

Tidak ada komentar: