Selasa, 11 November 2008

Dengan Nama Uang 2

Pusat-pusat ziarah Agama Uang bertumbuh di hampir tiap prapatan di kolong langit ini. Doa-doa dipanjatkan lewat bit-bit elektronik dalam kekhidmatan amati pergerakan angka-angka bursa hampir tanpa henti. Sekolah-sekolah calon imam mereka juga bukan hanya menghasilkan para rahib dan padri yang fanatik dan religius, tetapi juga laba berkelimpahan bagi pendirinya. Orang-orang kafir sosialis yang kurang ajar itu selayaknya menyingkir dari setiap jalan. Sebab upacara dan mantra-mantra agama Uang telah menundukkan semua lapisan masyarakat ke dalam dekapannya. Bukan masanya lagi serikat buruh dan omong kosong perjuangan kelas. Kini masanya perjuangan individu-individu di meja judi raksasa dalam kebebasan paripurna menggapai kemewahan.

Media-media massa adalah humas-humas kuil yang menyebarkan kumpulan fatwa resmi yang tidak hanya menebar sirap untuk menaungi setiap individu dari panasnya godaan untuk menguak tabir, tapi juga tunduk pada pengumpulan dan pemusatan kapital yang menjadi hukum mulia dalam dunia ini. Semua jalan telah dipasangi kamera-kamera pengintai yang siap merekam segala ketololan para pencari alternatif. Sudah tidak ada jalan yang lowong bagi iring-iringan serikat buruh dan perjuangan kelas. Para padri post-modern pun telah mewartakan gerakan sosial baru sebagai jalan perlawanan mulia yang tidak lagi berbasis kelas. Perjuangan kelas bukan urusan manusia waras lagi. Hanya jembel-jembel komunis dan pemuja fosil Karl Marx saja yang masih mengumandangkan l’Internasionale yang fals itu.

Uang. Dengan segala bentuknya yang kian canggih dan gaib, kini ia bukan hanya satu alat komunikasi. Ia menjadi satu-satunya. Monoteisme radikal ini diwartakan dengan wortel dan pentungan. Tidak ada pilihan ketiga. Serdadu dari semua negeri siap menyabung nyawa demi menjaga kesuciannya. Para politikus di delapan penjuru mata angin rela bersimbah kesenangan hidup demi membela kelangsungannya. Insinyur lecut semangat membanting tulang menyempurnakan teknik akumulasi dan ekspansinya. Agamawan giat menimbun tirai untuk tutupi kotorannya. Tugas suci sudah menunggu anak-anak manusia yang sedang menuntut ilmu di madrasah-madrasah borjuis. Padang harapan hanya ada di dalam kuil-kuilnya. Tak ada kebenaran di luarnya. Bahkan ke tepiannya pun kita khianat.

Uang menjadi satu-satunya alat komunikasi. Ia menerjemahkan semua lapisan sosial. Ia menerjemahkan martabat manusia. Ia menjadi panduan suci segala tindakan. Ialah hakim paling adil dan jaksa paling tegas. Baik-jahat dan benar-salah hanya bisa ditimbang dengan lembarannya. Dunia adalah pasar. Semua orang adalah pedagang. Semua nilai adalah komoditi. Semua yang padat menguap di udara. Tidak ada lagi aura kesucian di jubah seorang dokter, ilmuwan, guru, atau rohaniwan. Uang telah melunturkannya. Bagi kapitalisme, mereka tak lebih dari sekadar penjual jasa. Siapa pun yang mampu membelinya, dialah yang akan dilayani.

Dunia sudah berubah, Nak. Proletarmu tidak akan tahan memikirkan sesuatu yang aneh-aneh seperti revolusi atau perjuangan kelas. Sekarang adalah waktunya para nabi palsu mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat. Katanya 2012. Kalaupun asteroid yang akan menghancur-leburkan bumi itu terlambat datang, paling-paling seratus atau seratus limapuluh tahun saja rentang kelambatannya. Kalau itu benar, semoga saja di akhirat tidak ada kapitalisme. Tentu saja di sana tidak ada kapitalisme dan penindasan, Nak. Karena akhirat sendiri tidak ada.

NB:
“Apa yang sesungguhnya kau harapkan? Tidak akan pernah ada yang lebih baik dari saat ini dan tidak akan pernah ada lagi. Tak ada orang yang tampil menyelamatkan dunia karena memang tak seorang pun peduli pada dunia. Itu cuma ocehan anak-anak bodoh. Cari kerja, dapatkan uang, kerja sampai usiamu 60 tahun, lalu pindah ke Florida dan mati” (Daniel Quinn, Ishmael, 9).
Terima kasih, pak.

Tidak ada komentar: