Selasa, 09 Desember 2008

Persoalan terakhir

Di kamar kontrakan, beberapa menit sebelum mandi, aku tengadahkan wajah ke langit senyap dan bersyukur kepadamu tuhan bahwa aku masih tidak mempercayai keberadaanmu.

Selesai mandi, sambil membereskan persoalan upil terakhir yang tersudut di dinding atas lubang hidungku, aku mengagumi tetes-tetes godaan untuk percaya yang hampir selalu mampir seperti air hujan yang masuk ke kamar lewat genting retak. Mungkin penting bagiku mempercayaimu, karena meski tidak begitu besar namun kuterima gaji bulanan dan bisa memilih makan apa besok siang di warteg. Tetapi engkau sama sekali tidak penting buat rakyat jelata selain sebagai badut yang mendongeng soal tetek-bengek kehidupan bahagia di balik derita ketika mereka hendak teriakkan TIDAK kepada kebobrokan dunia ciptaanmu!

Aku sama sekali tidak mual kepadamu. Engkau tidak begitu bacin dan berlendir. Aku juga tidak membencimu. Engkau toh tidak begitu pelit seperti dosen killer yang pernah memberiku nilai C tiga tahun berturut-turut. Aku hanya tidak habis pikir, sebetulnya apa sih arti pentingmu untuk ada di dalam benak-benak mereka itu. Mungkin kau pikir aku terlalu bebal karena aku tidak menemukan hikmah secuil pun di balik tai kucing yang mengering di pojokan itu. Mungkin kau pikir aku reinkarnasi keledai karena tidak bisa melihat cahayamu di balik pekatnya penindasan.

Bila engkau liang keuyeup, aku sudah menutupmu dengan lumpur belasan tahun lalu. Bila engkau elang Jawa, pemburu dalam jiwaku telah membuatmu punah belasan tahun lalu. Jangan pernah datang lagi padaku dalam rupa apapun. Aku harap mengertilah. Godaan yang kau tawarkan dalam 40 hari perenungan ini tidak akan berhasil. Engkau tahu, manusia tidak hanya hidup dari roti, tapi harus dengan selai kacang, bubuk coklat, atau parutan kejunya juga.

Tidak ada komentar: