Rabu, 15 Oktober 2008

Dear Psikolog

Dear Psikolog,
Diingat-ingat, rupanya sudah cukup lama saya tidak baca novel. Beberapa hari lalu saya beli sebuah novel. Seperti sedikit novel yang saya punyai lainnya, novel baru ini juga bukan karya sastra hebat yang dipuji banyak tokoh di Indonesia. Dia novel populer meski tidak ternama. Saya memang hanya mampu baca yang populer seperti dia. Sungguh saya tidak akan sanggup baca karya-karya hebatnya Dostoyevsky, Tolstoy, Hemmingway yang dipuja-puji sebagai penulis brilian. Tidak pula saya mampu memahami pesan-pesan mulia dalam novel-novelnya Coelho, Pamuk, atau novelnya para pemenang Nobel Susastra. Rupanya kehidupan kampung yang terlalu lama membuat detak keadaban yang luhur dalam hati saya pudar. Jadinya saya cuma bisa membaca novel-novel populer.

Entah karena dalam kehidupan sebelumnya saya pernah lahir sebagai penduduk abad pertengahan atau karena saya orang kuno yang suka ketinggalan jaman, novel-novel populer yang saya suka ialah yang berlatar abad itu atau sebelumnya. Musashi atau Taiko, misalnya. Cerita dalam mereka berdua berlatar abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Terus ada Timeline yang tiga perempat kisahnya ada di abad ke-14 awal. Yang agak baru di kamar saya, Imperium, juga kisah abad ke-4 atau ke-5. Novel baru saya juga latarnya abad pertengahan. Tepatnya Inggris abad ke-12. Dia berjudul The Pillars of the Earth (Pilar). Dia lumayan tebal. Tubuhnya mengandung halaman sejumlah 1131. Entah disengaja atau tidak, kisah dalam novel dimulai tak jauh dari tahun 1131!

Tidak seperti novel Laskar Pelangi (ini juga kata orang), novel baru ini tidaklah menggugah hati. Sebagian besar paragrafnya lebih berisi keterangan tentang tetek-bengek dunia abad pertengahan ketimbang hikmah pemacu semangat hidup. Tidak seperti Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta yang katanya berkisah mengharukan dan dirimbuni nilai-nilai mulia, novel baru ini sebagian besarnya berisi istilah, nama, dan kisah untuk berbagai jenis teknologi, bangunan, kebiasaan-kebiasaan, suasana kota-desa, perihidup biara, bentuk gereja, organisasi para ksatria, hutan, ladang, penjahat, dan penyakit petani jaman kegelapan.

Dari novel ini saya tidak belajar tentang keteguhan hati atau makna cita-cita dalam kehidupan manusia. Saya lebih banyak belajar yang remeh-temeh, yaitu beberapa kata dalam Bahasa Inggris Pertengahan yang sudah tidak digunakan lagi sekarang (sehingga tidak akan membantu meningkatkan nilai TOEFL saya yang pas-pasan) dan banyak juga istilah Latin yang mungkin cuma dikenal oleh para rahib Katolik. Salah satu istilah yang menarik perhatian saya ialah ‘caementarius’, kata Latin yang artinya ‘tukang batu’ dan muncul di halaman 295. Memang, salah satu tokoh penting dalam novel ini ialah tukang batu yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain mencari sesuap nasi bagi dia dan keluarganya. Cita-citanya biasa saja: diterima kerja sebagai tukang batu, entah dalam perbaikan atau pembangunan benteng, gereja, atau katedral. Dia punya seorang istri dan dua anak hidup. Tanpa rumah tetap, dua anak lainnya mati waktu kecil, mungkin karena tetanus. Istrinya mati waktu melahirkan anak kelimanya. Waktu itu mereka sekeluarga kelaparan di tengah musim dingin di tepian belantara Inggris. Wajar saja istrinya mati: melarat, musim dingin, melahirkan di luaran. Itu kejadian biasa di abad kegelapan dan Jakarta.

Nah, itulah novel baru yang baru saya baca sepertiga bagiannya. Kata orang, jenis bacaan yang digemari seseorang itu pantulan pribadinya. Sungguh, saya ini sejenis pribadi yang mungkin patut dikasihani. Saya sama sekali tidak muak pada novel-novel yang luar biasa hebat secara susastra atau yang luar biasa laku secara bisnis. Saya sekadar tidak mampu membaca dan menikmatinya. Bila ada ahli kejiwaan yang membaca tulisan ini, tolong beritahu saya jenis pribadi apakah yang mendekam dalam tubuh ini; dan tolong berilah saran-saran jitu supaya saya mampu membaca Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta.

Sebelumnya saya haturkan terima kasih.

Wasalam,
T. Nirilahi

NB:
Bacalah tulisan ini seolah-olah engkau akan mati esok pagi atau tinggalkanlah seolah-olah engkau akan hidup seribu tahun lagi (Mutafaq-alaih).

Ulah serius teuing atuh Mam!

3 komentar:

Imam Hidayah Usman mengatakan...

mau juga saya baca novel yang tuan katakan itu, yang apa itu, tentang abad-abad lampau. mampir saya ke toko buku. diniatkan segala. tapi alamak, selera tuan itu ternyata buku-buku mahal. sedih saya ndak jadi baca.

trinanti mengatakan...

kikikikikikkk..

Tangusti Nirilahi mengatakan...

Lumayan buat pajangan.