Senin, 18 Mei 2009

Mengapa sosialis, mas?

Pada suatu ketika, seorang kawan berkunjung. Ketika melihat lukisan baru yang saya pajang di kamar kos, dia bertanya: Siapa itu?. Rosa Luxemburg, jawab saya. Rosa itu siapa?, tanyanya lagi. Sosialis Jerman, jawab saya datar. Kenapa sosialis?, tanyanya lagi sambil bolak-balik menatap lukisan itu dan saya yang sedang mengetik.

[Apanya yang kenapa?, pikir saya jengkel. Sosialis ya sosialis.]

Apanya yang kenapa?, tanya saya dengan nada biasa-biasa saja. Kenapa kamu pasang lukisan sosialis?, tanyanya. Karena aku pengen kapitalisme diganti sosialisme dan saya butuh penyemangat, jawab saya ringkas. Kenapa begitu?, tanyanya lagi sambil mengambil duduk di samping kanan saya. Karena kapitalisme tidak betul, jawab saya. Kok bisa? desaknya. Apa salahnya kapitalisme? Bukahkah ia begitu baik? Bikin barang-barang murah. Bikin semua orang bisa naek pesawat! [Dan juga kecelakaan pesawat, hutan gundul, limbah, polusi, kampung kumuh, gembel, dsb-dsb, pikir saya sambil coba menenangkan diri]

Saya coba cari cerita lain untuk mengalihkan topik pembicaraan.
Tidak ada lagi pembicaraan selama beberapa saat.

Keheningan didobrak oleh pertanyaan barunya yang diutarakan dengan suara lemah-lembut. Kamu punya duit nggak?, tanyanya dengan wajah memelas. Punya beberapa lembar. Kenapa memangnya?, tanya saya. Aku perlu duit buat bayar kos. Kalo nggak dibayar minggu ini aku diusir, katanya pilu. Aku sudah malu pinjam-pinjam terus sama orang, desahnya.

Aku bukan bank. Bukan juga badan amil zakat, kata saya padanya. Tapi aku bisa bantu kamu sedikit.
Bagaimana kalo kamu buat makalah tentang administrasi publik. Itu kan bidangmu waktu kuliah S1 dulu. Kupinjamkan laptopku, kusiapkan buku-buku yang diperlukan, dan aku nanti kasih kamu 25 ribu rupiah per judul. Tenggatnya bulan depan. Bagaimana?

Boleh tuh. Tapi topiknya apa aja?, tanyanya tertarik. Kuberikan daftarnya. Ada 10. Artinya kamu akan dapat 250 ribu kelak, kataku merayunya. Wah, banyak bener, buat apa sih?, tanya dia. Pokoknya, kamu mau nggak? desakku. Mau-mau, katanya girang. Tapi kalo sudah jadi, buat apa makalah-makalah itu?, tanyanya penasaran. Aku akan kirim ke beberapa pejabat yang lagi sekolah pasca dan aku akan mendapatkan 250 ribu per judulnya. Wah, itu nggak adil! serunya. Masak aku yang bikin cuma dapet 25 ribu per judul sih!, serunya tambah kencang. Di mana letak ketidakadilannya?, tanyaku. Aku yang punya info pasarnya, kupinjamkan laptopku kepadamu, kusediakan buku-bukunya, kubebaskan kamu dari ngeprint, dsb, dsb... karena semua itulah aku punya hak atas 225 ribu per makalah!, seruku membalas serunya. Tapi... tapi aku yang mikir, aku nyusun makalah, dan aku pula yang mengetiknya..., katanya melambat. Silahkah kau mikir, kau susun, dan kau ketik pikiranmu di atas daun pisang, dan kau tidak akan dapat sepeserpun. Tanpa uang sepeser pun, kau akan jadi gelandangan, tau!

Seperti dalam film-film drama, jeda setelah tanda seru terakhir menghasilkan hening.
Itulah kapitalisme, ujar saya datar sambil terus mengetik cerita ini.

6 komentar:

trinanti mengatakan...

:) tulisanmu soft n sexy mas.. gitu dong hehehe.. jogja jogja..;p

Imam Hidayah Usman mengatakan...

ini teh ada kerjaan beneran?

Anonim mengatakan...

hahaha..mana deui ieu kuisna?
Tapi, urang pernah ningal si mas serius pisan waktu ada yang ketawa pas dia cerita, "Ngak ada yang lucu dalam kapitalisme," ceunah

Tangusti Nirilahi mengatakan...

Mungkin pengaruh sr sultan mit.
Ga ada atuh mam, ini mah heureuy...
Di mana tah al? Poho urang

Imam Hidayah Usman mengatakan...

sri sultan itu soft n sexy yaa? duh, jadi pingin ke jogja....

gloria natalia dolorosa mengatakan...

mantab contohnya, mas. menelan ludah berkali-kali ya temanmu itu?