Rabu, 07 Januari 2009

Hikmah Sebuah Buku

Beberapa waktu lalu saya pinjam sebuah buku dari teman, judulnya Is Religion Dangerous? Dalam hati yang busuk ini, saya menjawab sinis: tentu saja. Prasangka buruk kepada agama sudah melekat begitu rupa dihati saya bagai panu yang sudah bertahun-tahun mangkal dekat siku. Penulisnya, Keith Ward, seorang teolog saleh yang berupaya sekuat tenaga menjadi ilmuwan. Kata pemilik buku, buku ini memberi imbangan pandangan terhadap agama. Agama itu ada sisi buruknya, tapi pada dasarnya sisi baiklah yang dominan. Agama itu penting sebagai sumber nilai-nilai hidup bagi mereka yang belum bisa menjadi individu. Agama merupakan penuntun batin manusia agar kembali ke jalan yang benar sebagai manusia. Katanya, tanpa agama dunia yang brutal akan lebih brutal lagi.

Cukup terharu juga saya membacanya. Penulisnya berupaya meyakinkan bahwa kita musti mencoba sudut pandang lain melihat agama. Segala tuduhan yang selama ini dialamatkan kepada agama sebagai pengobar perang dan mesin penindasan tidak harus disangkal, namun agar seimbang, kita juga harus mengangkat nilai-nilai keagamaan yang telah membantu manusia melalui masa-masa sulit di tengah sejarah dunia yang hampir tanpa hati ini.

Semakin dalam pembacaan saya, kian tergali hikmah-hikmah yang belum pernah mampir sebelumnya. Hati ini terhenyak dan terus bergetar karena deru keindahan argumentasinya. Akhirnya, setelah halaman terakhir disudahi, saya mengambil lembar kesimpulan terakhir di bawah peti hati dan membaca kalimat ilham yang berkelebat bagai suara Jibril: agama tidak sebegitu penting seperti yang coba diyakinkan buku ini. Dunia tidak akan lebih ramah bagi yang lemah ketika agama meraja. Agama itu ibarat kegelapan yang membuat akar randu tampak seperti ular. Agama juga ibarat mimpi indah saat ketiduran di stasiun kereta yang membuat saya merasa playboy padahal jomlo.

Terima kasih atas karuniamu yang memberiku kekuatan untuk tidak mempercayai keberadaanmu beserta nilai-nilai hidup yang katanya datang darimu.

N.B. Berbilah-bilah buku sok ilmiah dengan logika yang persis kepunyaan pedagang sendal dari Garut dan sudah kukenal sejak belasan tahun lalu tidak akan memotong apapun di sini. Maaf.

1 komentar:

trinanti mengatakan...

tak pernah selesai