Jumat, 21 November 2008

Badai tidak akan berlalu

Saya baru pulang dari suatu tempat di luar pulau Jawa. Tak ada koran, sinyal hp, atau televisi selama seminggu lebih. Di bandara pertama kali buka koran. Masya allah, krisis makin brutal.

1997-1998, Krisis Moneter Asia memicu krisis ekonomi lebih luas. Sektor spekulasi keuangan menggerogoti ekonomi riil hanya makan waktu sepeminum teh. Pabrik-pabrik tutup, buruh-buruh menggerombol di pinggir sampah kota. Borjuis kota yang pasokan rotinya bisa untuk belasan tahun tanpa kerja itu juga merasakan guncangannya. Dengan penuh penghormatan pada optimisme, mereka bilang Badai Pasti Berlalu.

Milenium baru dibuka dengan tanpa-tanda perbaikan. Seolah-olah petumbuhan ekonomi merambat naik dan itu artinya kemakmuran kembali dari pengunsiannya. Dengan penuh percaya diri mereka bilang: Badai Sudah Berlalu. Tapi mereka lupa ada di mana. Kita ada di dalam limbah kapitalisme yang paling beracun. Tidak ada badai yang akan berlalu.

Selasa, 11 November 2008

Dengan Nama Uang 2

Pusat-pusat ziarah Agama Uang bertumbuh di hampir tiap prapatan di kolong langit ini. Doa-doa dipanjatkan lewat bit-bit elektronik dalam kekhidmatan amati pergerakan angka-angka bursa hampir tanpa henti. Sekolah-sekolah calon imam mereka juga bukan hanya menghasilkan para rahib dan padri yang fanatik dan religius, tetapi juga laba berkelimpahan bagi pendirinya. Orang-orang kafir sosialis yang kurang ajar itu selayaknya menyingkir dari setiap jalan. Sebab upacara dan mantra-mantra agama Uang telah menundukkan semua lapisan masyarakat ke dalam dekapannya. Bukan masanya lagi serikat buruh dan omong kosong perjuangan kelas. Kini masanya perjuangan individu-individu di meja judi raksasa dalam kebebasan paripurna menggapai kemewahan.

Media-media massa adalah humas-humas kuil yang menyebarkan kumpulan fatwa resmi yang tidak hanya menebar sirap untuk menaungi setiap individu dari panasnya godaan untuk menguak tabir, tapi juga tunduk pada pengumpulan dan pemusatan kapital yang menjadi hukum mulia dalam dunia ini. Semua jalan telah dipasangi kamera-kamera pengintai yang siap merekam segala ketololan para pencari alternatif. Sudah tidak ada jalan yang lowong bagi iring-iringan serikat buruh dan perjuangan kelas. Para padri post-modern pun telah mewartakan gerakan sosial baru sebagai jalan perlawanan mulia yang tidak lagi berbasis kelas. Perjuangan kelas bukan urusan manusia waras lagi. Hanya jembel-jembel komunis dan pemuja fosil Karl Marx saja yang masih mengumandangkan l’Internasionale yang fals itu.

Uang. Dengan segala bentuknya yang kian canggih dan gaib, kini ia bukan hanya satu alat komunikasi. Ia menjadi satu-satunya. Monoteisme radikal ini diwartakan dengan wortel dan pentungan. Tidak ada pilihan ketiga. Serdadu dari semua negeri siap menyabung nyawa demi menjaga kesuciannya. Para politikus di delapan penjuru mata angin rela bersimbah kesenangan hidup demi membela kelangsungannya. Insinyur lecut semangat membanting tulang menyempurnakan teknik akumulasi dan ekspansinya. Agamawan giat menimbun tirai untuk tutupi kotorannya. Tugas suci sudah menunggu anak-anak manusia yang sedang menuntut ilmu di madrasah-madrasah borjuis. Padang harapan hanya ada di dalam kuil-kuilnya. Tak ada kebenaran di luarnya. Bahkan ke tepiannya pun kita khianat.

Uang menjadi satu-satunya alat komunikasi. Ia menerjemahkan semua lapisan sosial. Ia menerjemahkan martabat manusia. Ia menjadi panduan suci segala tindakan. Ialah hakim paling adil dan jaksa paling tegas. Baik-jahat dan benar-salah hanya bisa ditimbang dengan lembarannya. Dunia adalah pasar. Semua orang adalah pedagang. Semua nilai adalah komoditi. Semua yang padat menguap di udara. Tidak ada lagi aura kesucian di jubah seorang dokter, ilmuwan, guru, atau rohaniwan. Uang telah melunturkannya. Bagi kapitalisme, mereka tak lebih dari sekadar penjual jasa. Siapa pun yang mampu membelinya, dialah yang akan dilayani.

Dunia sudah berubah, Nak. Proletarmu tidak akan tahan memikirkan sesuatu yang aneh-aneh seperti revolusi atau perjuangan kelas. Sekarang adalah waktunya para nabi palsu mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat. Katanya 2012. Kalaupun asteroid yang akan menghancur-leburkan bumi itu terlambat datang, paling-paling seratus atau seratus limapuluh tahun saja rentang kelambatannya. Kalau itu benar, semoga saja di akhirat tidak ada kapitalisme. Tentu saja di sana tidak ada kapitalisme dan penindasan, Nak. Karena akhirat sendiri tidak ada.

NB:
“Apa yang sesungguhnya kau harapkan? Tidak akan pernah ada yang lebih baik dari saat ini dan tidak akan pernah ada lagi. Tak ada orang yang tampil menyelamatkan dunia karena memang tak seorang pun peduli pada dunia. Itu cuma ocehan anak-anak bodoh. Cari kerja, dapatkan uang, kerja sampai usiamu 60 tahun, lalu pindah ke Florida dan mati” (Daniel Quinn, Ishmael, 9).
Terima kasih, pak.

Senin, 10 November 2008

Dengan Nama Uang 1

Tentu saja umur uang sudah setua peradaban. Seperti bahasa-pasaran bagi para pekerja pembangunan Babel, ia ada bersama tumbuhnya Jericho sebagai kota niaga pertama di muka bumi. Tugasnya sama: sebagai alat komunikasi dengan sandangan lambang-lambang bermakna yang memungkinkan percakapan. Katun dari lembah Nil, sutra dari Tiongkok, tempayan dari desa-desa Tigris, zaitun dari lembah Cedar, ara dari Galilea, dan segala rupa barang dan jasa berinteraksi dan dipampatkan ke dalam angka-angka dalam logam mulia bercap penguasa.

Uang hanya alat komunikasi. Namun, seperti juga waktu yang misterius dan akhirnya diberi mandat sebagai Dewa, uang yang juga sangat misterius akhirnya menjadi sesuatu yang seolah-olah hidup dalam dirinya sendiri dan memiliki daya kuasa maha dahsyat. Ruh telah ditiupkan ke dalam setiap kepingnya di mana pun ia terserak. Dukun sakti yang telah susupkan kehidupan ke dalam uang ialah Kapitalisme.

Kapitalisme telah dan akan terus membangun kuil-kuil pemujaan Uang di delapan penjuru bumi. Upaya pembangunan itu dipercepat oleh proses yang disebut orang sebagai globalisasi. Teknologi canggih yang menunas dari dorongan hasrat buta perburuan laba tidak hanya menggelindingkan roda globalisasi semakin cepat, namun juga melahirkan anak haram kapitalisme, yaitu apa yang disebut Giddens sebagai ekonomi elektronik global (global electronic economy/GEE), sejenis sistem ekonomi yang kian menjauhi tetek-bengek kegiatan produksi barang. Ekonomi spekulasi keuangan yang mengandalkan kecerdikan teknologi Internet dan kelihaian pencitraan para CEO dalam jutaan pixel denyutan iklan menjadi satu-satunya jalan waras untuk menggandakan kapital secepat siklus tumbuh dan tanggalnya upil. Sudah bukan jamannya lagi kapitalis berkelakuan seperti para industriawan kuno yang membangun pabrik, mempekerjakan buruh, dan menghasilkan peniti atau sepatu kulit. Biarlah kegiatan buang-buang waktu itu dijalani kapitalis ortodoks pengikut Nabi Smith. Kini jamannya monetarisme, bung. Nabi von Hayek telah tiba dari surga. Rasul Teacher dan Rasul Reagan wartakan Kabar Baik bagi korporasi-korporasi keuangan dan semua kapitalis seluruh negeri mengenai pembebasan dari derita kebodohan berkepanjangan di bawah kuasa jahat negara kesejahteraan dan ancaman iblis sosialisme. Bayang-bayang Keynes pun sudah bisa dihapus tanpa perlu merasa bersalah. Kini saatnya menebarkan Kasih kepada kelas terpilih untuk menguasai dunia demi kesejahteraan para pemuja kebahagiaan sejati di dalam nama Uang, Korporasi, dan Spekulasi... Amin.

Selasa, 28 Oktober 2008

Dari Setan

Pasar bebas itu suci. Barangsiapa mencoba ganggu-gugat keberadaannya berarti menistakan kebenaran abadi. Semua pemerintahan dan kaum politikus hanya ada untuk menjaga kesuciannya. Pemegang senjata telah dikaruniai berkat untuk menjaga kelanggengan kuil-kuil korporasinya. Hanya dengannya dunia makmur. Hanya melaluinya segala kebutuhan material terpenuhi dengan sedikit biaya dan sebesar-besarnya pilihan individu. Hanya Pasar Bebas yang memiliki keadilan sejati. Soal biaya-biaya sosial dan lingkungan untuk mencapainya, itu bukan urusan kita.

ttd
Setan

Minggu, 26 Oktober 2008

Sidang Perserikatan Sepeda-sepeda

Ayo bicara empat mata
Jangan pernah lagi petantang-petenteng di situ
Kesini dan duduk dengan sopan
kita bicara soal dirimu
Apa tidak terpikir sejenak dalam hidup
keberadaanmu memalukan Perserikatan!
Ingat, sejak enam ribu tahun lalu kau bohongi penghuni Sabit Subur
Kau bilang Kita cuma satu, dan itulah Engkau
Sungguh tak tahu malu!
Dari satu bangsa ke bangsa lain, Kau mengaku esa dengan nama-nama beda
Mereka itu lemah, kau tahu itu
manusia itu mahluk Kita yang bodoh
Kau manfaatkan mereka demi keisenganmu

Kini Kita saksikan:
nama-namamu dipahat menjadi arca-arca
mereka memasangnya di ujung-ujung tombak, tsunami, dan krisis
dengan nama-namamu mereka saling potong
demi nama-namamu mereka saling pentung
atas nama-namamu mereka berdagang

Sekarang sedang krisis ekonomi
ke depan krisis ini bakal bikin orang tambah galak
Pastinya hasil kerjamu akan jadi bahan bakar
Kami sudah muak
Ayo kesini dan duduk dengan sopan
beri Kami penjelasan
atas kelakuanmu yang konyol

[Kaliyuga XX, Ruang Sidang Perserikatan Sepeda-sepeda]

Selasa, 21 Oktober 2008

Masya Allah, krisis lagi?

Krisis kredit perumahan Amerika dimulai tahun 2000. Denyut di gelembung keuangan global kian terasa. Makin lama denyutnya kian cepat seperti degup jantung maling yang dikejar massa. Lelehan keringat cemasnya sampai jatuh berkali-kali. Entah kepanikan alamiah atau kerakusan mulia yang mengalihkan para kapitalis ke gudang minyak. Tak perlu paham teori harga secara mendalam untuk mengetahui akibatnya. Harga minyak mentah dunia tiba-tiba naik begitu cepat, lalu luruh membawa hujan persoalan baru.

Pada mulanya lembaga-lembaga penyedia jasa keuangan lokal Amerika satu per satu ambruk. Lutut mereka tak lagi sanggup menanggung beban kredit macet perumahan karena produksi-berlebih. Kamudian korporasi-korporasi keuangan raksasa kalang-kabut karena dana cair yang dipertaruhkan di meja judi kertas berharga mulai kabur gambarnya. Ketika dadu dibuka, satu per satu mereka runtuh. Lehman Brother, Citygroup, Golden Sach, AIG, bergetar di meja judi raksasa. Persoalannya, dunia bukanlah petak-petak berbenteng yang masing-masing petak tertutup dari lainnya. Bumi yang menjadi datar seperti lapangan sepak bola sudah tak lagi punya petak. Keruntuhan ekonomi keuangan dunia merambat perlahan ke ekonomi riil. Pabrik-pabrik mulai mengemas kapital yang tersisa. General Motor menutup pabrik-pabriknya di Amerika minggu ini. Siapa berikutnya kita lihat saja.

Ada apa ini? Apa yang salah dengan perekonomian dunia? Apa yang keliru dengan kapitalisme?

Tidak. Bukan kapitalisme yang salah. Mereka para CEO lembaga keuangan yang salah. Mereka terlalu serakah. Mereka tidak hati-hati bermain di ladang gandum emas beranjau sektor spekulasi-keuangan. Kapitalisme tidak pernah salah karena ia alamiah. Sekarang, yang perlu dilakukan adalah gunakan uang hasil pengumpulan pajak untuk menalangi dana cair lembaga-lembaga keuangan yang masih hidup. Jangan biarkan para pahlawan global ini ikut ambruk bersama Lehman Brother. Krisis itu biasa. Tak perlu dirisaukan. Pasti kehidupan akan kembali seperti sedia kala. Tidak akan lama. paling beberapa tahun lagi. Jadi tolong camkan baik-baik. Jangan pernah berpikir bahwa ada yang keliru dengan tatanan sosial-ekonomi kita sekarang. Jangan pernah sok tahu untuk mengubah dan menggantikan kapitalisme dengan sistem-sistem lain.

Lalu bagaimana dengan korban-korban krisis: jutaan orang miskin yang kian melarat; kaum pekerja yang terdepak dari pabrik-pabrik dan melata di kota-kota besar lalu mati seperti lalat sampah?

Dengar nak, segala sesuatu itu ada upahnya. Korban itu biasa. Bukankah agama juga mengajarkan bahwa kebahagiaan itu butuh pengorbanan? Jadi, sudahlah. Jangan pernah berpikir untuk menyalahkan kapitalisme! Dunia sudah seperti ini adanya. Tidak ada sistem yang lebih baik darinya. Camkan itu!!

Rabu, 15 Oktober 2008

Dear Psikolog

Dear Psikolog,
Diingat-ingat, rupanya sudah cukup lama saya tidak baca novel. Beberapa hari lalu saya beli sebuah novel. Seperti sedikit novel yang saya punyai lainnya, novel baru ini juga bukan karya sastra hebat yang dipuji banyak tokoh di Indonesia. Dia novel populer meski tidak ternama. Saya memang hanya mampu baca yang populer seperti dia. Sungguh saya tidak akan sanggup baca karya-karya hebatnya Dostoyevsky, Tolstoy, Hemmingway yang dipuja-puji sebagai penulis brilian. Tidak pula saya mampu memahami pesan-pesan mulia dalam novel-novelnya Coelho, Pamuk, atau novelnya para pemenang Nobel Susastra. Rupanya kehidupan kampung yang terlalu lama membuat detak keadaban yang luhur dalam hati saya pudar. Jadinya saya cuma bisa membaca novel-novel populer.

Entah karena dalam kehidupan sebelumnya saya pernah lahir sebagai penduduk abad pertengahan atau karena saya orang kuno yang suka ketinggalan jaman, novel-novel populer yang saya suka ialah yang berlatar abad itu atau sebelumnya. Musashi atau Taiko, misalnya. Cerita dalam mereka berdua berlatar abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Terus ada Timeline yang tiga perempat kisahnya ada di abad ke-14 awal. Yang agak baru di kamar saya, Imperium, juga kisah abad ke-4 atau ke-5. Novel baru saya juga latarnya abad pertengahan. Tepatnya Inggris abad ke-12. Dia berjudul The Pillars of the Earth (Pilar). Dia lumayan tebal. Tubuhnya mengandung halaman sejumlah 1131. Entah disengaja atau tidak, kisah dalam novel dimulai tak jauh dari tahun 1131!

Tidak seperti novel Laskar Pelangi (ini juga kata orang), novel baru ini tidaklah menggugah hati. Sebagian besar paragrafnya lebih berisi keterangan tentang tetek-bengek dunia abad pertengahan ketimbang hikmah pemacu semangat hidup. Tidak seperti Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta yang katanya berkisah mengharukan dan dirimbuni nilai-nilai mulia, novel baru ini sebagian besarnya berisi istilah, nama, dan kisah untuk berbagai jenis teknologi, bangunan, kebiasaan-kebiasaan, suasana kota-desa, perihidup biara, bentuk gereja, organisasi para ksatria, hutan, ladang, penjahat, dan penyakit petani jaman kegelapan.

Dari novel ini saya tidak belajar tentang keteguhan hati atau makna cita-cita dalam kehidupan manusia. Saya lebih banyak belajar yang remeh-temeh, yaitu beberapa kata dalam Bahasa Inggris Pertengahan yang sudah tidak digunakan lagi sekarang (sehingga tidak akan membantu meningkatkan nilai TOEFL saya yang pas-pasan) dan banyak juga istilah Latin yang mungkin cuma dikenal oleh para rahib Katolik. Salah satu istilah yang menarik perhatian saya ialah ‘caementarius’, kata Latin yang artinya ‘tukang batu’ dan muncul di halaman 295. Memang, salah satu tokoh penting dalam novel ini ialah tukang batu yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain mencari sesuap nasi bagi dia dan keluarganya. Cita-citanya biasa saja: diterima kerja sebagai tukang batu, entah dalam perbaikan atau pembangunan benteng, gereja, atau katedral. Dia punya seorang istri dan dua anak hidup. Tanpa rumah tetap, dua anak lainnya mati waktu kecil, mungkin karena tetanus. Istrinya mati waktu melahirkan anak kelimanya. Waktu itu mereka sekeluarga kelaparan di tengah musim dingin di tepian belantara Inggris. Wajar saja istrinya mati: melarat, musim dingin, melahirkan di luaran. Itu kejadian biasa di abad kegelapan dan Jakarta.

Nah, itulah novel baru yang baru saya baca sepertiga bagiannya. Kata orang, jenis bacaan yang digemari seseorang itu pantulan pribadinya. Sungguh, saya ini sejenis pribadi yang mungkin patut dikasihani. Saya sama sekali tidak muak pada novel-novel yang luar biasa hebat secara susastra atau yang luar biasa laku secara bisnis. Saya sekadar tidak mampu membaca dan menikmatinya. Bila ada ahli kejiwaan yang membaca tulisan ini, tolong beritahu saya jenis pribadi apakah yang mendekam dalam tubuh ini; dan tolong berilah saran-saran jitu supaya saya mampu membaca Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta.

Sebelumnya saya haturkan terima kasih.

Wasalam,
T. Nirilahi

NB:
Bacalah tulisan ini seolah-olah engkau akan mati esok pagi atau tinggalkanlah seolah-olah engkau akan hidup seribu tahun lagi (Mutafaq-alaih).

Ulah serius teuing atuh Mam!