Selasa, 02 Juni 2009

Kesaksian

Kira-kira waktu saya masih SMA saya dengar lagu ini. Judulnya kesaksian. Penyanyinya Kantata Takwa (Iwan Fals dkk.) Liriknya begini:

Aku mendengar suara
jerit mahluk terluka
luka luka, hidupnya luka

orang memanah rembulan
burung sirna sarangnya
sirna sirna, hidup redup
alam semesta luka

banyak orang hilang nafkahnya
aku bernyanyi menjadi saksi
banyak orang dirampas haknya
aku bernyanyi menjadi saksi

mereka dihinakan tanpa daya
ya, tanpa daya
terbiasa hidup sangsi

orang-orang harus dibangunkan
aku bernyanyi menjadi saksi
kenyataan harus dikabarkan
aku bernyanyi menjadi saksi

lagu ini jeritan jiwa
hidup bersama harus dijaga
lagu ini harapan sukma
hidup yang layak harus dibela

orang-orang harus dibangunkan
aku bernyanyi menjadi saksi
kenyataan harus dikabarkan
aku bernyanyi menjadi saksi

Karena saya tidak bisa menyanyi, saya akan coba bersaksi dengan cara lain. Insya allah.

Senin, 18 Mei 2009

Mengapa sosialis, mas?

Pada suatu ketika, seorang kawan berkunjung. Ketika melihat lukisan baru yang saya pajang di kamar kos, dia bertanya: Siapa itu?. Rosa Luxemburg, jawab saya. Rosa itu siapa?, tanyanya lagi. Sosialis Jerman, jawab saya datar. Kenapa sosialis?, tanyanya lagi sambil bolak-balik menatap lukisan itu dan saya yang sedang mengetik.

[Apanya yang kenapa?, pikir saya jengkel. Sosialis ya sosialis.]

Apanya yang kenapa?, tanya saya dengan nada biasa-biasa saja. Kenapa kamu pasang lukisan sosialis?, tanyanya. Karena aku pengen kapitalisme diganti sosialisme dan saya butuh penyemangat, jawab saya ringkas. Kenapa begitu?, tanyanya lagi sambil mengambil duduk di samping kanan saya. Karena kapitalisme tidak betul, jawab saya. Kok bisa? desaknya. Apa salahnya kapitalisme? Bukahkah ia begitu baik? Bikin barang-barang murah. Bikin semua orang bisa naek pesawat! [Dan juga kecelakaan pesawat, hutan gundul, limbah, polusi, kampung kumuh, gembel, dsb-dsb, pikir saya sambil coba menenangkan diri]

Saya coba cari cerita lain untuk mengalihkan topik pembicaraan.
Tidak ada lagi pembicaraan selama beberapa saat.

Keheningan didobrak oleh pertanyaan barunya yang diutarakan dengan suara lemah-lembut. Kamu punya duit nggak?, tanyanya dengan wajah memelas. Punya beberapa lembar. Kenapa memangnya?, tanya saya. Aku perlu duit buat bayar kos. Kalo nggak dibayar minggu ini aku diusir, katanya pilu. Aku sudah malu pinjam-pinjam terus sama orang, desahnya.

Aku bukan bank. Bukan juga badan amil zakat, kata saya padanya. Tapi aku bisa bantu kamu sedikit.
Bagaimana kalo kamu buat makalah tentang administrasi publik. Itu kan bidangmu waktu kuliah S1 dulu. Kupinjamkan laptopku, kusiapkan buku-buku yang diperlukan, dan aku nanti kasih kamu 25 ribu rupiah per judul. Tenggatnya bulan depan. Bagaimana?

Boleh tuh. Tapi topiknya apa aja?, tanyanya tertarik. Kuberikan daftarnya. Ada 10. Artinya kamu akan dapat 250 ribu kelak, kataku merayunya. Wah, banyak bener, buat apa sih?, tanya dia. Pokoknya, kamu mau nggak? desakku. Mau-mau, katanya girang. Tapi kalo sudah jadi, buat apa makalah-makalah itu?, tanyanya penasaran. Aku akan kirim ke beberapa pejabat yang lagi sekolah pasca dan aku akan mendapatkan 250 ribu per judulnya. Wah, itu nggak adil! serunya. Masak aku yang bikin cuma dapet 25 ribu per judul sih!, serunya tambah kencang. Di mana letak ketidakadilannya?, tanyaku. Aku yang punya info pasarnya, kupinjamkan laptopku kepadamu, kusediakan buku-bukunya, kubebaskan kamu dari ngeprint, dsb, dsb... karena semua itulah aku punya hak atas 225 ribu per makalah!, seruku membalas serunya. Tapi... tapi aku yang mikir, aku nyusun makalah, dan aku pula yang mengetiknya..., katanya melambat. Silahkah kau mikir, kau susun, dan kau ketik pikiranmu di atas daun pisang, dan kau tidak akan dapat sepeserpun. Tanpa uang sepeser pun, kau akan jadi gelandangan, tau!

Seperti dalam film-film drama, jeda setelah tanda seru terakhir menghasilkan hening.
Itulah kapitalisme, ujar saya datar sambil terus mengetik cerita ini.

Rabu, 13 Mei 2009

Apa?

Apa yang bisa dilakukan orang-orang takut mati yang panik?

1) Pura-pura percaya Tuhan, berdoa, lalu menunggu biar Tuhan urus semua persoalan.
2) Pura-pura tidak percaya Tuhan, mabuk wiski buatan Texas, lalu biarkan romantisme abad ke-18 bekerja lewat perusakan otak dan berpikir tidak ada masalah!
3) Pura-pura percaya Tuhan, memilih calon presiden yang wapresnya seorang murid Friedman, lalu menunggu biar Tuhan urus persoalan selebihnya.

Selasa, 28 April 2009

Quis

Siapa sih yang butuh tenaga kerja untuk dieksploitasi? Siapa yang harus bayar sekolah supaya kelak bisa dieksploitasi?
a. kelas pekerja
b. kelas kapitalis
c. preman
d. ustad

kirim jawabannya ke alamat ini paling lambat sebelum kiamat 2012 tiba.

Senin, 27 April 2009

Kiamat

Apabila kiamat 2012 tidak jadi, bagaimana kalo kita bikin?

Senin, 06 April 2009

Politisi

Politisi itu ibarat popok yang harus sesering mungkin diganti dengan alasan yang sama dengan popok.
[Tom Dobbs, film Man of the Year]

Atau seperti usus buntu warisan evolusi kita ketika masih Homo Habilis, yang hingga sekarang diketahui tidak punya manfaat apa-apa buat tubuh.

Rabu, 01 April 2009

George Soros dan Ponirin

Mengapa George Soros lebih mulia daripada Ponirin? Sebab Soros menulis buku, bikin universitas, dan ngasih beasiswa. Dengan kekayaan dari perjudian raksasa yang bikin Ponirin miskin tetap miskin, George Soros mesam-mesem di Internet berperan jadi nabi. George Soros tidak pernah menghasilkan apapun selain kekayaan bagi dirinya sendiri lewat rumus mistik M-M+; itulah sebab dia mulia. Dunia sudah sesinting umat Nabi Hud yang menumpuk kekayaan tanpa membuat apapun yang berguna bagi orang lain. Dengan bikin buku, universitas, dan beasiswa, dia seolah-olah lebih mulia daripada Ponirin yang mencangkul sepetak lahan singkongnya di Gunung Kidul.