Minggu, 14 Desember 2008

Saya pernah tertipu

Saya pernah tertipu. Waktu itu malam gelap. Sudah beberapa hari gerimis turun dari pagi hingga malam. Matahari tentu saja masih ada di siang hari, dia hanya tertutup awan. Bumi temaram sepanjang siang dan pekat sepanjang malam. Di antara siang dan malam, hanya nyamuk sial yang lahir terlalu dini yang berupaya bertahan hidup dari rumah ke rumah. Senja itu temaram, 80 persen gelap. Kuberjalan hati-hati menuju kontrakan lewat jalan pintas melewati kebun. Percik cahaya neon dari kamar mandi tetangga sebelah menuntunku menemukan celah kering di antara genangan. Tiba-tiba ada sosok bayangan di dekapan gelap bergerak-gerak. Lambaian tangannya seperti sapu tangan Lady Di diterpa angin musim gugur Birmingham atau sari Bunda Theresa tertiup angin kemarau Kalkuta. Aku tertegun sejenak. Kubayangkan dia, yang selama ini sering diceritakan orang kepadaku, berdiri di sana. Ya, dia ada rupanya. Jelas, dia di situ hendak menguji imanku. Retinaku bekerja keras memeras partikel cahaya yang tersisa. Tebar cahaya neon dari kamar mandi tetangga sebelah sudah menipis. Sisa-sisa cahayanya mempercepat hormon ketololan yang tergenjot cepat naik dari dengkul ke benak. Ketika alunan percaya mulai merasuki pikiran lelahku yang telah seharian bekerja, seperempat detik bagai kelebat kilat yang pernah dianggap sebagai Cambuk Dewa itu, kepercayaanku pudar. Gerobak nasi goreng menderu ke arah kami. Cahaya petromaks menyibak tabir. Alhamdulillah, ternyata dia hanya sebatang pohon pisang dengan daun meliuk-liuk diterpa angin musim hujan.

Kutarik hikmah dari sisa-sisa tabir yang sedang menguap itu: hanya orang-orang dalam kegelapan yang percaya bahwa akar pohon randu adalah ular. Terima kasih, petromarks.

Selasa, 09 Desember 2008

Persoalan terakhir

Di kamar kontrakan, beberapa menit sebelum mandi, aku tengadahkan wajah ke langit senyap dan bersyukur kepadamu tuhan bahwa aku masih tidak mempercayai keberadaanmu.

Selesai mandi, sambil membereskan persoalan upil terakhir yang tersudut di dinding atas lubang hidungku, aku mengagumi tetes-tetes godaan untuk percaya yang hampir selalu mampir seperti air hujan yang masuk ke kamar lewat genting retak. Mungkin penting bagiku mempercayaimu, karena meski tidak begitu besar namun kuterima gaji bulanan dan bisa memilih makan apa besok siang di warteg. Tetapi engkau sama sekali tidak penting buat rakyat jelata selain sebagai badut yang mendongeng soal tetek-bengek kehidupan bahagia di balik derita ketika mereka hendak teriakkan TIDAK kepada kebobrokan dunia ciptaanmu!

Aku sama sekali tidak mual kepadamu. Engkau tidak begitu bacin dan berlendir. Aku juga tidak membencimu. Engkau toh tidak begitu pelit seperti dosen killer yang pernah memberiku nilai C tiga tahun berturut-turut. Aku hanya tidak habis pikir, sebetulnya apa sih arti pentingmu untuk ada di dalam benak-benak mereka itu. Mungkin kau pikir aku terlalu bebal karena aku tidak menemukan hikmah secuil pun di balik tai kucing yang mengering di pojokan itu. Mungkin kau pikir aku reinkarnasi keledai karena tidak bisa melihat cahayamu di balik pekatnya penindasan.

Bila engkau liang keuyeup, aku sudah menutupmu dengan lumpur belasan tahun lalu. Bila engkau elang Jawa, pemburu dalam jiwaku telah membuatmu punah belasan tahun lalu. Jangan pernah datang lagi padaku dalam rupa apapun. Aku harap mengertilah. Godaan yang kau tawarkan dalam 40 hari perenungan ini tidak akan berhasil. Engkau tahu, manusia tidak hanya hidup dari roti, tapi harus dengan selai kacang, bubuk coklat, atau parutan kejunya juga.

Senin, 08 Desember 2008

Dear Wartawan

Beberapa waktu ke depan mungkin kamu akan bertarung mempertahankan hidup yang masih mimpi itu melawan kenyataan berkembangbiaknya banyak khurafat, salah satunya “... berupa ketakutan berukuran sekotak kecil yang dapat dibawa perempuan ke manapun... dan fungsi yang sangat penting dari posisi perempuan sebagai sosok cantik (yang ketakutan) adalah untuk membeli lebih banyak barang demi tubuhnya...” (Naomi Wolf, The Beauty Myth).

Kamis, 04 Desember 2008

Lumpur Bakrie

Kasus semburan lumpur Lapindo mengajariku beberapa hal sebagai berikut:
1) ilmuwan dan kapitalis bekerja sama coba kelabui orang awam bahwa kejadian itu ulah alam. Buat yang tidak mau kerja sama, silahkan ngojek untuk biayai sekolah anak-anaknya,
2) media massa, sejauh tidak ada kepentingan si pemilik kapitalnya dalam suatu persoalan akan tetap menayangkan berita kepiluan para korban,
3) pemerintah paling suka menjadi resi bijaksana dan lemah-lembut kepada mereka yang kuat,
4) kapitalis itu mahluk paling mulia yang pernah diciptakan setan,
5) tuhan terlalu tidak penting untuk diajak kerjasama.

Jumat, 21 November 2008

Badai tidak akan berlalu

Saya baru pulang dari suatu tempat di luar pulau Jawa. Tak ada koran, sinyal hp, atau televisi selama seminggu lebih. Di bandara pertama kali buka koran. Masya allah, krisis makin brutal.

1997-1998, Krisis Moneter Asia memicu krisis ekonomi lebih luas. Sektor spekulasi keuangan menggerogoti ekonomi riil hanya makan waktu sepeminum teh. Pabrik-pabrik tutup, buruh-buruh menggerombol di pinggir sampah kota. Borjuis kota yang pasokan rotinya bisa untuk belasan tahun tanpa kerja itu juga merasakan guncangannya. Dengan penuh penghormatan pada optimisme, mereka bilang Badai Pasti Berlalu.

Milenium baru dibuka dengan tanpa-tanda perbaikan. Seolah-olah petumbuhan ekonomi merambat naik dan itu artinya kemakmuran kembali dari pengunsiannya. Dengan penuh percaya diri mereka bilang: Badai Sudah Berlalu. Tapi mereka lupa ada di mana. Kita ada di dalam limbah kapitalisme yang paling beracun. Tidak ada badai yang akan berlalu.

Selasa, 11 November 2008

Dengan Nama Uang 2

Pusat-pusat ziarah Agama Uang bertumbuh di hampir tiap prapatan di kolong langit ini. Doa-doa dipanjatkan lewat bit-bit elektronik dalam kekhidmatan amati pergerakan angka-angka bursa hampir tanpa henti. Sekolah-sekolah calon imam mereka juga bukan hanya menghasilkan para rahib dan padri yang fanatik dan religius, tetapi juga laba berkelimpahan bagi pendirinya. Orang-orang kafir sosialis yang kurang ajar itu selayaknya menyingkir dari setiap jalan. Sebab upacara dan mantra-mantra agama Uang telah menundukkan semua lapisan masyarakat ke dalam dekapannya. Bukan masanya lagi serikat buruh dan omong kosong perjuangan kelas. Kini masanya perjuangan individu-individu di meja judi raksasa dalam kebebasan paripurna menggapai kemewahan.

Media-media massa adalah humas-humas kuil yang menyebarkan kumpulan fatwa resmi yang tidak hanya menebar sirap untuk menaungi setiap individu dari panasnya godaan untuk menguak tabir, tapi juga tunduk pada pengumpulan dan pemusatan kapital yang menjadi hukum mulia dalam dunia ini. Semua jalan telah dipasangi kamera-kamera pengintai yang siap merekam segala ketololan para pencari alternatif. Sudah tidak ada jalan yang lowong bagi iring-iringan serikat buruh dan perjuangan kelas. Para padri post-modern pun telah mewartakan gerakan sosial baru sebagai jalan perlawanan mulia yang tidak lagi berbasis kelas. Perjuangan kelas bukan urusan manusia waras lagi. Hanya jembel-jembel komunis dan pemuja fosil Karl Marx saja yang masih mengumandangkan l’Internasionale yang fals itu.

Uang. Dengan segala bentuknya yang kian canggih dan gaib, kini ia bukan hanya satu alat komunikasi. Ia menjadi satu-satunya. Monoteisme radikal ini diwartakan dengan wortel dan pentungan. Tidak ada pilihan ketiga. Serdadu dari semua negeri siap menyabung nyawa demi menjaga kesuciannya. Para politikus di delapan penjuru mata angin rela bersimbah kesenangan hidup demi membela kelangsungannya. Insinyur lecut semangat membanting tulang menyempurnakan teknik akumulasi dan ekspansinya. Agamawan giat menimbun tirai untuk tutupi kotorannya. Tugas suci sudah menunggu anak-anak manusia yang sedang menuntut ilmu di madrasah-madrasah borjuis. Padang harapan hanya ada di dalam kuil-kuilnya. Tak ada kebenaran di luarnya. Bahkan ke tepiannya pun kita khianat.

Uang menjadi satu-satunya alat komunikasi. Ia menerjemahkan semua lapisan sosial. Ia menerjemahkan martabat manusia. Ia menjadi panduan suci segala tindakan. Ialah hakim paling adil dan jaksa paling tegas. Baik-jahat dan benar-salah hanya bisa ditimbang dengan lembarannya. Dunia adalah pasar. Semua orang adalah pedagang. Semua nilai adalah komoditi. Semua yang padat menguap di udara. Tidak ada lagi aura kesucian di jubah seorang dokter, ilmuwan, guru, atau rohaniwan. Uang telah melunturkannya. Bagi kapitalisme, mereka tak lebih dari sekadar penjual jasa. Siapa pun yang mampu membelinya, dialah yang akan dilayani.

Dunia sudah berubah, Nak. Proletarmu tidak akan tahan memikirkan sesuatu yang aneh-aneh seperti revolusi atau perjuangan kelas. Sekarang adalah waktunya para nabi palsu mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat. Katanya 2012. Kalaupun asteroid yang akan menghancur-leburkan bumi itu terlambat datang, paling-paling seratus atau seratus limapuluh tahun saja rentang kelambatannya. Kalau itu benar, semoga saja di akhirat tidak ada kapitalisme. Tentu saja di sana tidak ada kapitalisme dan penindasan, Nak. Karena akhirat sendiri tidak ada.

NB:
“Apa yang sesungguhnya kau harapkan? Tidak akan pernah ada yang lebih baik dari saat ini dan tidak akan pernah ada lagi. Tak ada orang yang tampil menyelamatkan dunia karena memang tak seorang pun peduli pada dunia. Itu cuma ocehan anak-anak bodoh. Cari kerja, dapatkan uang, kerja sampai usiamu 60 tahun, lalu pindah ke Florida dan mati” (Daniel Quinn, Ishmael, 9).
Terima kasih, pak.

Senin, 10 November 2008

Dengan Nama Uang 1

Tentu saja umur uang sudah setua peradaban. Seperti bahasa-pasaran bagi para pekerja pembangunan Babel, ia ada bersama tumbuhnya Jericho sebagai kota niaga pertama di muka bumi. Tugasnya sama: sebagai alat komunikasi dengan sandangan lambang-lambang bermakna yang memungkinkan percakapan. Katun dari lembah Nil, sutra dari Tiongkok, tempayan dari desa-desa Tigris, zaitun dari lembah Cedar, ara dari Galilea, dan segala rupa barang dan jasa berinteraksi dan dipampatkan ke dalam angka-angka dalam logam mulia bercap penguasa.

Uang hanya alat komunikasi. Namun, seperti juga waktu yang misterius dan akhirnya diberi mandat sebagai Dewa, uang yang juga sangat misterius akhirnya menjadi sesuatu yang seolah-olah hidup dalam dirinya sendiri dan memiliki daya kuasa maha dahsyat. Ruh telah ditiupkan ke dalam setiap kepingnya di mana pun ia terserak. Dukun sakti yang telah susupkan kehidupan ke dalam uang ialah Kapitalisme.

Kapitalisme telah dan akan terus membangun kuil-kuil pemujaan Uang di delapan penjuru bumi. Upaya pembangunan itu dipercepat oleh proses yang disebut orang sebagai globalisasi. Teknologi canggih yang menunas dari dorongan hasrat buta perburuan laba tidak hanya menggelindingkan roda globalisasi semakin cepat, namun juga melahirkan anak haram kapitalisme, yaitu apa yang disebut Giddens sebagai ekonomi elektronik global (global electronic economy/GEE), sejenis sistem ekonomi yang kian menjauhi tetek-bengek kegiatan produksi barang. Ekonomi spekulasi keuangan yang mengandalkan kecerdikan teknologi Internet dan kelihaian pencitraan para CEO dalam jutaan pixel denyutan iklan menjadi satu-satunya jalan waras untuk menggandakan kapital secepat siklus tumbuh dan tanggalnya upil. Sudah bukan jamannya lagi kapitalis berkelakuan seperti para industriawan kuno yang membangun pabrik, mempekerjakan buruh, dan menghasilkan peniti atau sepatu kulit. Biarlah kegiatan buang-buang waktu itu dijalani kapitalis ortodoks pengikut Nabi Smith. Kini jamannya monetarisme, bung. Nabi von Hayek telah tiba dari surga. Rasul Teacher dan Rasul Reagan wartakan Kabar Baik bagi korporasi-korporasi keuangan dan semua kapitalis seluruh negeri mengenai pembebasan dari derita kebodohan berkepanjangan di bawah kuasa jahat negara kesejahteraan dan ancaman iblis sosialisme. Bayang-bayang Keynes pun sudah bisa dihapus tanpa perlu merasa bersalah. Kini saatnya menebarkan Kasih kepada kelas terpilih untuk menguasai dunia demi kesejahteraan para pemuja kebahagiaan sejati di dalam nama Uang, Korporasi, dan Spekulasi... Amin.

Selasa, 28 Oktober 2008

Dari Setan

Pasar bebas itu suci. Barangsiapa mencoba ganggu-gugat keberadaannya berarti menistakan kebenaran abadi. Semua pemerintahan dan kaum politikus hanya ada untuk menjaga kesuciannya. Pemegang senjata telah dikaruniai berkat untuk menjaga kelanggengan kuil-kuil korporasinya. Hanya dengannya dunia makmur. Hanya melaluinya segala kebutuhan material terpenuhi dengan sedikit biaya dan sebesar-besarnya pilihan individu. Hanya Pasar Bebas yang memiliki keadilan sejati. Soal biaya-biaya sosial dan lingkungan untuk mencapainya, itu bukan urusan kita.

ttd
Setan

Minggu, 26 Oktober 2008

Sidang Perserikatan Sepeda-sepeda

Ayo bicara empat mata
Jangan pernah lagi petantang-petenteng di situ
Kesini dan duduk dengan sopan
kita bicara soal dirimu
Apa tidak terpikir sejenak dalam hidup
keberadaanmu memalukan Perserikatan!
Ingat, sejak enam ribu tahun lalu kau bohongi penghuni Sabit Subur
Kau bilang Kita cuma satu, dan itulah Engkau
Sungguh tak tahu malu!
Dari satu bangsa ke bangsa lain, Kau mengaku esa dengan nama-nama beda
Mereka itu lemah, kau tahu itu
manusia itu mahluk Kita yang bodoh
Kau manfaatkan mereka demi keisenganmu

Kini Kita saksikan:
nama-namamu dipahat menjadi arca-arca
mereka memasangnya di ujung-ujung tombak, tsunami, dan krisis
dengan nama-namamu mereka saling potong
demi nama-namamu mereka saling pentung
atas nama-namamu mereka berdagang

Sekarang sedang krisis ekonomi
ke depan krisis ini bakal bikin orang tambah galak
Pastinya hasil kerjamu akan jadi bahan bakar
Kami sudah muak
Ayo kesini dan duduk dengan sopan
beri Kami penjelasan
atas kelakuanmu yang konyol

[Kaliyuga XX, Ruang Sidang Perserikatan Sepeda-sepeda]

Selasa, 21 Oktober 2008

Masya Allah, krisis lagi?

Krisis kredit perumahan Amerika dimulai tahun 2000. Denyut di gelembung keuangan global kian terasa. Makin lama denyutnya kian cepat seperti degup jantung maling yang dikejar massa. Lelehan keringat cemasnya sampai jatuh berkali-kali. Entah kepanikan alamiah atau kerakusan mulia yang mengalihkan para kapitalis ke gudang minyak. Tak perlu paham teori harga secara mendalam untuk mengetahui akibatnya. Harga minyak mentah dunia tiba-tiba naik begitu cepat, lalu luruh membawa hujan persoalan baru.

Pada mulanya lembaga-lembaga penyedia jasa keuangan lokal Amerika satu per satu ambruk. Lutut mereka tak lagi sanggup menanggung beban kredit macet perumahan karena produksi-berlebih. Kamudian korporasi-korporasi keuangan raksasa kalang-kabut karena dana cair yang dipertaruhkan di meja judi kertas berharga mulai kabur gambarnya. Ketika dadu dibuka, satu per satu mereka runtuh. Lehman Brother, Citygroup, Golden Sach, AIG, bergetar di meja judi raksasa. Persoalannya, dunia bukanlah petak-petak berbenteng yang masing-masing petak tertutup dari lainnya. Bumi yang menjadi datar seperti lapangan sepak bola sudah tak lagi punya petak. Keruntuhan ekonomi keuangan dunia merambat perlahan ke ekonomi riil. Pabrik-pabrik mulai mengemas kapital yang tersisa. General Motor menutup pabrik-pabriknya di Amerika minggu ini. Siapa berikutnya kita lihat saja.

Ada apa ini? Apa yang salah dengan perekonomian dunia? Apa yang keliru dengan kapitalisme?

Tidak. Bukan kapitalisme yang salah. Mereka para CEO lembaga keuangan yang salah. Mereka terlalu serakah. Mereka tidak hati-hati bermain di ladang gandum emas beranjau sektor spekulasi-keuangan. Kapitalisme tidak pernah salah karena ia alamiah. Sekarang, yang perlu dilakukan adalah gunakan uang hasil pengumpulan pajak untuk menalangi dana cair lembaga-lembaga keuangan yang masih hidup. Jangan biarkan para pahlawan global ini ikut ambruk bersama Lehman Brother. Krisis itu biasa. Tak perlu dirisaukan. Pasti kehidupan akan kembali seperti sedia kala. Tidak akan lama. paling beberapa tahun lagi. Jadi tolong camkan baik-baik. Jangan pernah berpikir bahwa ada yang keliru dengan tatanan sosial-ekonomi kita sekarang. Jangan pernah sok tahu untuk mengubah dan menggantikan kapitalisme dengan sistem-sistem lain.

Lalu bagaimana dengan korban-korban krisis: jutaan orang miskin yang kian melarat; kaum pekerja yang terdepak dari pabrik-pabrik dan melata di kota-kota besar lalu mati seperti lalat sampah?

Dengar nak, segala sesuatu itu ada upahnya. Korban itu biasa. Bukankah agama juga mengajarkan bahwa kebahagiaan itu butuh pengorbanan? Jadi, sudahlah. Jangan pernah berpikir untuk menyalahkan kapitalisme! Dunia sudah seperti ini adanya. Tidak ada sistem yang lebih baik darinya. Camkan itu!!

Rabu, 15 Oktober 2008

Dear Psikolog

Dear Psikolog,
Diingat-ingat, rupanya sudah cukup lama saya tidak baca novel. Beberapa hari lalu saya beli sebuah novel. Seperti sedikit novel yang saya punyai lainnya, novel baru ini juga bukan karya sastra hebat yang dipuji banyak tokoh di Indonesia. Dia novel populer meski tidak ternama. Saya memang hanya mampu baca yang populer seperti dia. Sungguh saya tidak akan sanggup baca karya-karya hebatnya Dostoyevsky, Tolstoy, Hemmingway yang dipuja-puji sebagai penulis brilian. Tidak pula saya mampu memahami pesan-pesan mulia dalam novel-novelnya Coelho, Pamuk, atau novelnya para pemenang Nobel Susastra. Rupanya kehidupan kampung yang terlalu lama membuat detak keadaban yang luhur dalam hati saya pudar. Jadinya saya cuma bisa membaca novel-novel populer.

Entah karena dalam kehidupan sebelumnya saya pernah lahir sebagai penduduk abad pertengahan atau karena saya orang kuno yang suka ketinggalan jaman, novel-novel populer yang saya suka ialah yang berlatar abad itu atau sebelumnya. Musashi atau Taiko, misalnya. Cerita dalam mereka berdua berlatar abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Terus ada Timeline yang tiga perempat kisahnya ada di abad ke-14 awal. Yang agak baru di kamar saya, Imperium, juga kisah abad ke-4 atau ke-5. Novel baru saya juga latarnya abad pertengahan. Tepatnya Inggris abad ke-12. Dia berjudul The Pillars of the Earth (Pilar). Dia lumayan tebal. Tubuhnya mengandung halaman sejumlah 1131. Entah disengaja atau tidak, kisah dalam novel dimulai tak jauh dari tahun 1131!

Tidak seperti novel Laskar Pelangi (ini juga kata orang), novel baru ini tidaklah menggugah hati. Sebagian besar paragrafnya lebih berisi keterangan tentang tetek-bengek dunia abad pertengahan ketimbang hikmah pemacu semangat hidup. Tidak seperti Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta yang katanya berkisah mengharukan dan dirimbuni nilai-nilai mulia, novel baru ini sebagian besarnya berisi istilah, nama, dan kisah untuk berbagai jenis teknologi, bangunan, kebiasaan-kebiasaan, suasana kota-desa, perihidup biara, bentuk gereja, organisasi para ksatria, hutan, ladang, penjahat, dan penyakit petani jaman kegelapan.

Dari novel ini saya tidak belajar tentang keteguhan hati atau makna cita-cita dalam kehidupan manusia. Saya lebih banyak belajar yang remeh-temeh, yaitu beberapa kata dalam Bahasa Inggris Pertengahan yang sudah tidak digunakan lagi sekarang (sehingga tidak akan membantu meningkatkan nilai TOEFL saya yang pas-pasan) dan banyak juga istilah Latin yang mungkin cuma dikenal oleh para rahib Katolik. Salah satu istilah yang menarik perhatian saya ialah ‘caementarius’, kata Latin yang artinya ‘tukang batu’ dan muncul di halaman 295. Memang, salah satu tokoh penting dalam novel ini ialah tukang batu yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain mencari sesuap nasi bagi dia dan keluarganya. Cita-citanya biasa saja: diterima kerja sebagai tukang batu, entah dalam perbaikan atau pembangunan benteng, gereja, atau katedral. Dia punya seorang istri dan dua anak hidup. Tanpa rumah tetap, dua anak lainnya mati waktu kecil, mungkin karena tetanus. Istrinya mati waktu melahirkan anak kelimanya. Waktu itu mereka sekeluarga kelaparan di tengah musim dingin di tepian belantara Inggris. Wajar saja istrinya mati: melarat, musim dingin, melahirkan di luaran. Itu kejadian biasa di abad kegelapan dan Jakarta.

Nah, itulah novel baru yang baru saya baca sepertiga bagiannya. Kata orang, jenis bacaan yang digemari seseorang itu pantulan pribadinya. Sungguh, saya ini sejenis pribadi yang mungkin patut dikasihani. Saya sama sekali tidak muak pada novel-novel yang luar biasa hebat secara susastra atau yang luar biasa laku secara bisnis. Saya sekadar tidak mampu membaca dan menikmatinya. Bila ada ahli kejiwaan yang membaca tulisan ini, tolong beritahu saya jenis pribadi apakah yang mendekam dalam tubuh ini; dan tolong berilah saran-saran jitu supaya saya mampu membaca Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta.

Sebelumnya saya haturkan terima kasih.

Wasalam,
T. Nirilahi

NB:
Bacalah tulisan ini seolah-olah engkau akan mati esok pagi atau tinggalkanlah seolah-olah engkau akan hidup seribu tahun lagi (Mutafaq-alaih).

Ulah serius teuing atuh Mam!

Senin, 13 Oktober 2008

Ikhlas

Ada buku bagus. Saya sudah membacanya beberapa kali sejak ia terbit dalam bahasa Indonesia. Kertas cetaknya tidak semewah buku-buku Harun Yahya, tidak banyak gambar berwarna, dan tidak pula banyak tanda seru di dalamnya. Berikut ini salah satu bagian yang saya suka:

Pendeta pengirim surat kepada saya yang sudah dibicarakan dalam bab sebelum ini menemukan imannya melalui seekor tawon. Charles Darwin kehilangan imannya juga dengan seekor tawon: “Saya tak bisa meyakinkan diri sendiri,” tulis Darwin, “bahwa Tuhan yang Mahakuasa dan Maha Pemurah secara terencana menciptakan Ichneumonidae yang sengaja dimaksudkan agar makhluk ini memakan ulat hidup-hidup dari dalam tubuh ulat itu sendiri.” [...]

Kebiasaan mengerikan yang dirujuk oleh Darwin terdapat pula pada sepupu makhluk tersebut, yaitu tawon gangsir... Tawon gangsir betina tidak hanya menaruh telurnya di dalam badan seekor ulat (atau belalang atau lebah) agar larvanya dapat memakan hewan tersebut dari dalam, tapi menurut Fabre dan peneliti lain, tawon betina itu dengan hati-hati menusukkan sengatnya ke dalam tiap simpul sistem saraf pusat mangsanya, sedemikian rupa sehingga membuatnya lumpuh namun tidak mematikan. Dengan demikian, dagingnya akan tetap segar... Ini terdengar buas-keji tapi, seperti yang akan kita lihat, alam tidaklah buas-keji, hanya tak acuh saja. Inilah salah satu pelajaran paling sulit buat manusia. Kita tidak mempu mengakui bahwa ada hal-hal yang bersifat tidak kejam maupun tidak welas-asih, cuma tanpa rasa—tidak pusing dengan segala derita, tidak punya tujuan apapun juga.

diambil dari:
[Dawkins, Richard, 2005, Sungai dari Firdaus, Jakarta: KPG, hlm. 107-8]

Bacalah, mudah-mudahan buku ini berfaedah. Sungguh, semoga Tuhan melimpahkan rahmat dan keselamatan untuk makhluk sejenis Dawkins ini. Buku ini membuat kita bisa ikhlas berada di dalam kehidupan; ikhlas bahwa Dia tidak pernah ada.

Rabu, 08 Oktober 2008

Ayo Berdoa

BEJ ditutup sementara. Bursa saham Rusia sudah tutup sejak tiga hari lalu. Indeks bursa di Timur Tengah jatuh sampai minus enam belas. Korporasi kapital keuangan raksasa dunia berturut-turut ambruk. Golden Sach dan AIG tinggal tunggu malaikat Izrail datang. Ada apa? Apa yang sedang terjadi? Katanya krisis ekonomi. Ayo berdoa kepada Tuhan supaya Dia selamatkan dunia dari krisis ekonomi yang sedang melanda delapan penjuru mata angin.

Kata para pengamat, krisis kali ini adalah soal keserakahan. Orang hanya mengejar keuntungan buat dirinya sendiri tanpa peduli orang lain. Apa betul baru kali ini kapitalis-kapitalis keuangan itu serakah? Ayo berdoa kepada Tuhan supaya Dia menyadarkan kaum serakah itu sehingga mereka menjadi pemurah dan peduli sesama!

Sekali-kali kasih dia kerjaan di dunia ini.

Senin, 06 Oktober 2008

Bertobatlah!

Bertobatlah segera
Ambil pada potongan waktu terdekat
Bertobatlah secepatnya
karena hari terakhir segera tiba
Perhatikan pertanda:
Orang kian giat memahat kekosongan
dan membuat arca Tuhan darinya
Mereka bikin surga dari darah kepala yang dipentungi;
dari rekah tulang kaki yang dibacoki;
dari patahan gerobak yang diobrak-abrik.
Mereka balut arca kosong itu dengan kain-kain putih;
menyiraminya dengan parfum tanpa alkohol;
sambil serukan kata-kata asing dari semenanjung gersang
dengan tambahan tanda seru yang banyak.

Wahai Engkau...
Tahukah, aku bersumpah penuh amarah!
Akan kutemukan persembunyianMu secepatnya
dan akan kuajak Engkau belajar Kimia Organik
itupun bila memang Engkau ada.

Sabtu, 27 September 2008

Tapi dari Tombak

Para filsuf sejati, jenis manusia supra-pengangguran yang sanggup hidup hanya dengan mengutak-atik kata dan gejala, konon lahir dari rahim masyarakat dagang Yunani abad ke-6 Sebelum Masehi. Para pelamun bijak dari masyarakat pendukung perbudakan itu diagung-agungkan sebagai penemu cara pikir filsafati. Tidak seperti sepupu mereka dari lereng Himalaya, orang-orang macam Thales atau Anaximander tidak berpaling pada mitos untuk menjawab dasar hakiki segala ada. Mereka tidak mencipta sosok Siwa yang paradoks atau Brahman yang kosong. Mereka mencipta Arkhe yang linier dan tunggal. Corak pikir seperti inilah yang memungkinkan kebangunan filsafat dan ilmu dalam sejarah manusia. Namun, corak pikir ini pula yang bisa membunuhnya.

Manusia menunggu dua milenium untuk membunuh tuhan-tuhan kuno mereka dan menciptakan yang baru; yang tidak terbuat dari bual khayal, tapi dari tombak dan kertas berangka.

Kamis, 25 September 2008

Cerita 1

Ketika kami baru saja beranjak dari tidur panjang primata, dunia tampak menakutkan. Betapa tidak. Kami harus memberi nama semua yang ada di sekitar kami. Kami juga mesti memberi jawaban atas ‘mengapa’ peristiwa-peristiwa. Tanpa teleskop, tanpa tabel kimia, tanpa mikroskop, tanpa kalkulus, kami berupaya berhadapan dengan misteri halilintar, gempa, kesuburan, banjir, dan penyakit lalu harus menamainya. Kami namai dewa-dewa untuk daya-daya alam. Lalu kami namai tuhan untuk daya-daya semesta yang kami bayangkan bersosok seperti kami.

Rabu, 24 September 2008

Tips 2

Tak ada obat yang lebih mujarab untuk penyakit jiwa selain kesibukan serius dari pikiran kita dengan objek-objek lain (Voltaire).

Jumat, 12 September 2008

Tips

Tenang berbaring dan sedikit berpikir adalah obat yang paling murah untuk segala penyakit jiwa dan dengan kehendak baik jam demi jam pemakaiannya akan makin nyaman (Nietzsche)

Selasa, 02 September 2008

Kata Amartya Sen

Amartya Sen, ekonom India penerima Nobel pernah diwawancara oleh Pranab Bardhan, profesor ekonomi keturunan India di University of California at Berkeley. Dalam salah satu bagian yang membincangkan soal identitas ke-India-an dan bahaya chauvinisme Hindu kontemporer, Amartya Sen menyatakan:

“Dalam banyak hal orang-orang telah terbiasa dengan gagasan bahwa India itu spiritual dan berorientasi keagamaan. Hal itu mengantar pada tafsir religius tentang India meski kenyataannya bahwa Sansekerta memuat kepustakaan ateistik lebih banyak daripada yang ada dalam bahasa klasik yang lainnya. Bahkan dalam tradisi Hindu ada banyak orang yang ateis. Madhava Acharya, seorang filsuf abad ke-14, menulisnya dalam buku besarnya, Sarvadarshanasamgraha, yang mendiskusikan semua aliran pemikiran religius dalam tatanan Hindu. Bab pertamanya ialah [tentang ajaran] ‘Ateisme’” (California Magazine, vol. 117, no. 4, July-Agustus 2006).

Buat saya pernyataan Amartya Sen cukup mengejutkan. Saya kenal India itu negerinya para Yogi dan pertapa yang betah berhari-hari samadi tanpa makan-minum. Dewa-dewi jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan rakyatnya. Sepintas India tampak sepenuhnya spiritual atau paling tidak aroma spiritualitas seperti kari yang mengisi menu makanan tradisionalnya. Nyatanya, India menyimpan berlembar-lembar sejarah pemikiran ateistik dan materialisitik jauh sebelum Inggris menjajah mereka dan memperkenalkan pemikiran Eropa. Ateisme dan materialisme tumbuh dari akar peradaban India sendiri. Malah, keberadaan para pemikir ateis-materialistik India lebih dahulu daripada sejawatnya di Yunani dan Cina Kuno.

Kata para ahli, di dalam Rg Veda, kumpulan kidung-kidung Veda tertua, misalnya, pemikiran ateistik dan materialistik sudah menelusup ke dalam alam pikiran India. Corak pemikiran materialistik juga terekam dalam Satapatha Brahmana yang di situ seorang bijak pernah menyatakan bahwa: “asal-mula segala permulaan adalah air”.

Dalam Brhadaranyaka Upanishad ada pertanyaan seperti: “Ketika yang fana mati, dari akar apa dia bisa tumbuh kembali?” Pertanyaan serupa juga muncul dalam Mahabharata: “Jika akar sebuah pohon yang dicabut saja tidak tumbuh lagi meskipun benihnya berkecambah, di mana orang yang telah mati kembali lagi?” Ayat lain dari Brhadaranyaka menyatakan bahwa ketika seseorang mati, maka ia akan terurai menjadi unsur-unsur pembentuknya sehingga setelah mati tidak ada kesadaran lagi. Dalam Katha Upanishad juga dikisahkan ada sekelompok pertapa yang mengajarkan ‘inilah dunia dan tak ada yang lain’ dan mereka menolak pandangan bahwa ada yang bertahan setelah kematian.

Rabu, 20 Agustus 2008

Javali

Salah satu epos besar bangsa India, Ramayana dalam bagian Ayodhya Khanda mengisahkan tentang seorang bijak bernama Javali yang punya hubungan dengan istana raja Dasaratha, ayahanda Rama. Javali ialah guru bagi Rama dan saudaranya. Javali mengajarkan soal ateisme juga. Misalnya, Javali pernah mengajarkan “O Rama, bijaksanalah, tiada dunia-lain selain dunia ini, itu jelas! Nikmati yang hadir sekarang dan buang yang membuat tak nyaman...”.

Javali juga mengajarkan bahwa perintah menyembah dewa-dewa, mempersembahkan kurban-kurban bakaran, dan hukuman ilahiah telah dimasukkan ke dalam kitab suci oleh orang cerdik untuk mengatur dan memperoleh manfaat dari orang lain. Javali tidak hanya tidak memperlakukan Shri Rama sebagai dewa, dia juga menyebut beberapa tindakannya sebagai bodoh. Dalam bagian Vana-Parva dari Mahabharata juga sangat jelas bahwa Draupadi, ayahnya, dan saudara-saudaranya yang tinggal di hutan pernah diajari oleh seorang pertapa yang adalah ateis.

Minggu, 17 Agustus 2008

Shri Goparaju Ramachandra Rao

Di sebuah kota kecil India bernama Vijayawada ada sebuah lembaga yang keberadaannya lebih tua daripada Republik Federasi India. Lembaga itu bernama Atheist Centre. Pendirinya ialah Shri Goparaju Ramachandra Rao atau yang biasa dipanggil Gora. Gora mendirikan lembaga tersebut bersama-sama istrinya Sarasvati dan beberapa kawan seperjuangan.

Gora adalah salah seorang kawan dekat Mahatma Gandhi. Seperti juga Gandhi, Gora dikenal sebagai pejuang kemerdekaan India yang mengutamakan kemandirian ekonomi dan perlawanan tanpa kekerasan bangsa India sebagai jalan kemerdekaan sekaligus berupaya memperbaiki kedudukan sosial lapisan kasta sudra dan paria yang disebut harijan (anak-anak Tuhan) oleh Gandhi.

Pada tahun 1944 Atheist Centre didirikan. Pusat kegiatannya ialah menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan gratis serta layanan bantuan keuangan bagi kaum miskin yang berusaha. Selain itu, Atheist Centre juga mendirikan pusat kampanye bahayanya segala jenis tahayul, termasuk kepercayaan kepada dewa-dewa. Lembaga ini menyediakan layanan konsultasi pemberantasan tahayul. Sekarang, Atheist Centre dipimpin putra Gora yang juga seorang ateis masyur baik di India maupun di kalangan ateis/humanis dunia, Lavanam.

Rabu, 13 Agustus 2008

Periyar

Di salah satu bagian Kota Madras, ibukota negara bagian Tamil Nadu di India selatan, ada sebuah patung sosok salah seorang pemimpin bangsa Tamil. Di bawah sosok itu terpahat tatahan kata-kata sebagai berikut: “Tidak ada Tuhan, tidak ada Tuhan, tidak ada Tuhan sama sekali. Dia yang menemukan Tuhan, seorang bodoh. Dia yang menyebarkan (gagasan tentang) Tuhan, seorang bajingan. Dia yang menyembah Tuhan, seorang biadab”. Nama orang yang di sosok patungnya tertulis kata-kata tersebut ialah Periyar.

Periyar menggelorakan semangat kaum miskin untuk tidak tunduk kepada para pendeta yang secara tradisional merupakan kasta tertinggi masyarakat India. Periyar menyerang secara langsung dengan kata-kata sistem kasta dan dominasi kaum pendeta. Mitos-mitos Hindu, upacara-upacara, serta segala tahayul, termasuk aneka ragam konsepsi Tuhan yang menjadi landasan segala tahayul, digugatnya karena dianggap sebagai parasit yang menggerogoti mental bangsa Tamil untuk menjadi budak selama dalam sistem sosial kebudayaan Arya.

Di akhir dasawarsa 1990-an ada sekitar 500 sampai 600 buah patung serupa di seantero Tamil Nadu. Siapa sosok yang di bawah patungnya tertulis kalimat-kalimat ateistik tersebut? Ialah Periyar (1879-1973), salah seorang pejuang kebebasan bangsa Tamil. Dia mendirikan Self-Respect Dravidar Kazhagam pada 1929. Sejak itu, Self-Respect menjadi salah satu organisasi ateis yang berwibawa di India.

Sejak 1977, gerakan Self-Respect dipimpin K. Veeramani, seorang ateis masyur yang juga dihormati para pemimpina India. Pada pertengahan 1990-an gerakan ini sudah mendukung sekitar 30 lembaga di tiga kota, yakni Madras, Tiruchirappalli, dan Thanjavur. Lembaga-lembaga dirian Self-Respect ini menyediakan layanan panti asuhan anak-anak miskin, sekolah dan pelatihan beragam keterampilan untuk jembel dan anak-anak para buruh miskin, biro perkawinan, pusat layanan kesehatan rakyat, layanan bantuan hukum, pusat penyelidikan kanker, dan sebagainya. Semua layanan untuk kaum miskin tersebut cuma-cuma bisa didapat. Pada akhir 1990-an anggota pergerakan Self-Respect Dravidar Khazagam sendiri lebih dari 100.000 orang. Sekitar 1000 anggotanya pada 10 Januari melakukan demonstrasi menelusuri jalan-jalan Kota Madras sambil berteriak-teriak: “tiada Tuhan, tiada Tuhan!”.

Minggu, 10 Agustus 2008

Ketika Cinta Tiba Hari Selasa

Matahari baru beranjak pulang
ekornya menyapu kota hingga jingga.
Dua derajat lagi dia tenggelam
bawa cerita purba tentang dunia.

Rintik gelap luruh dari langit
sirami percik siang terakhir.
Kerlip bintang mendegupi langit
hiasi senin yang hampir tanpa arti.

Lampu warung sinari tubuhmu
menghapus bayang-bayang sosokmu
yang karenanya aku terpaku

Sepi sepintas tanpa sapa
karna kau sibuk itung ribuan
lalu kau bayar belanjaan

Ngilu kalbuku kelu lidahku
kusaksikan sisa hadirmu
karna kau sudah bayar belanjaanmu

Kata tetangga kau wanita jalang
Brangkat malam pulang siang
Ke kontrakan tiap hari bawa uang
atau cuma mi instan rasa ayam bawang

Namaku .... mungkin kau ingin tahu
meski pun tidak, aku ingin kau tahu.
Mungkin kita jumpa lagi siapa tahu
di warung ini selasa depan


Warung Pak Kasan, pokoknya Agustus 2008

Minggu, 03 Agustus 2008

Maaf

Katanya engkau penuh kasih
Aku tahu itu sedari kecil

Mungkin ada kabar dari malaikatmu
Aku pergi dari taman hikmahmu

Sungguh bukan itu maksudku kali ini
Aku hanya yakin engkau tak begitu penting di sini

Tolong percaya aku
Tak akan kuulangi janjiku
Bahwa hidup-matiku bukan untukmu,
Tuhan.

Jumat, 01 Agustus 2008

Puisi Hati yang Luka

Wahai Engkau Tuhan yang Maha Mengetahui segala
Engkau tentu paham derita hamba-hambaMu
Mereka yang takut jiwanya,
mereka yang lapar perutnya, dan
mereka yang tak sanggup lagi melangkah di bumimu mencari tujuh ribu seminggu,
Mereka berdoa padamu setiap ada waktu menanti hikmahMu.
Menurutku, paling tidak ringankan derita mereka sekali saja,
sampai mereka kembali padaMu.
Itu pun bila sungguh-sungguh Engkau ada.
Amin.

Kamis, 24 Juli 2008

2012, Kembalinya yang Biasa Kembali

Heboh. Sekarang bukan cuma ahli arkeologi yang ngulik warisan Bangsa Maya. Untuk pertama kalinya, angka Arab begitu mistis mengalahkan angka Romawi yang selalu mistis dalam kepustakaan Freemason. Dialah 2012. Waktu yang ditafsir dari penanggalan Bangsa Maya. Di beberapa web ditambah kelengkapan tanggal 21 bulan 12.

Ada apa sih di tanggal itu? Menurut tafsir atas penanggalan Bangsa Maya, itulah akhir dunia. Apa yang dimaksud ‘Akhir dunia’? Kiamat, kata sebagian orang. Buat kita, waktu dunia itu linear karena Tuhan Semitik adalah Alfa dan Omega, Awal dan Akhir, yang mencipta dari ketiadaan dan mengakhirinya dengan peniadaan. Cara pikir linear atas waktu mendorong kita berpikir soal ‘Tuhan’ dan ‘akhir’. Ketika Bangsa Yahudi ditindas habis-habisan Nabi Elia mengabarkan akhir dunia dan akan datangnya Kerajaan Tuhan, Kerajaan Damai buat Bangsa Pilihan Tuhan. Ketika Bangsa Yahudi juga ditindah habis-habisan, Yesus mengabarkan akhir dunia dan datangnya Kerajaan Tuhan yang kian dekat. Ketika Krisis Kapitalisme akhir abad ke-19, muncul pemula-pemula sekte Advent yang mengabarkan kedatangan Yesus tuk yang kedua pertanda akhir dunia kian dekat. Ketika ketertindasan bangsa Indian makin brutal, orang Indian bikin Tarian Arwah menunggu kereta yang akan membawa mereka melalui akhir dunia ke dunia nenek moyang yang damai. Ketika orang Melanesia tertindas habis-habisan, mereka menunggu Cargo yang membawa kekayaan dan nenek moyang menuju dunia damai di balik dunia fana yang akan berakhir ini. Ketika krisis kapitalisme merusak banyak hal di Jepang, Aum Shinri Kyo mengabarkan akhir dunia sambil meledakkan bom gas syaraf. Ketika krisis kapitalisme 1997-1998, muncul gereja kiamat di Dayeuh Kolot... dan seterusnya, dan seterusnya.

Hanya orang-orang terpilih yang akan selamat dari guncangan akhir dunia ini. Jumlahnya tidak banyak karena kebenaran selalu punya sedikit pengiman.

Semua agama mengajarkannya. Semua nabi mengabarkan berita ini. Bila semua percaya pada hal yang sama, apakah ada kebenaran tunggal yang mendasari? Atau justru kekeliruan tunggal di dalam semua kepercayaan ini?

Wallahu’alam bishshawab....

Senin, 07 Juli 2008

Romantisme Listrik Padam

Kemarin malam aliran listrik padam. Ketika hendak membeli lilin ke warung, di tanah lapang Tuhan menuntun saya menengadah. Tinggal di pinggiran wilayah pinggirannya kota ada untungnya. Polusi cahaya di sini belum separah Bandung atau Jakarta. Itu membuat bintang-gemintang jelas terlihat. Entah berapa lama terakhir saya pandangi langit. Semangat sok romantis tiba-tiba bergelora.

15 milyar tahun cahaya yang lalu mereka belum ada. Semesta barulah titik singularitas. Energi titik yang mahapadat itu meronta. Kontradiksi di dalamnya merunyak dan meledaklah ia. Para nabi menyebutnya Ledakan Mahadahsyat. Seperti kumpulan debu yang tertiup angin, materi-materi padat energi menyebar; melesat saling menjauh. Salah satu yang terlontar dari gejolak pembebasan itu adalah rumah kita: bumi. Ia lahir dari tarian liar materi berenergi 3-4 milyar tahun yang lalu. Saudara-saudara dekatnya, planet-planet tatasurya, juga lahir di masa tak jauh beda. Selama ini mereka diasuh bibi matahari. Mereka tumbuh dan besar di naungan terangnya. Bibi matahari tidak akan melepas kehangatannya, paling tidak sampai 15 milyar tahun yang akan datang, hingga nanti ia jatuh sakit karena kontradiksi dirinya sendiri.

Seperti anak-anak ayam, putra-putri dari Yang Mahapadat yang kini saling menjauh tidak kuat menahan rindu tuk saling jumpa. Bagaimana pun kodrat mereka adalah satu. Kerinduan purba menghantar mereka berpelukan bila ada kesempatan. Tidak jarang kerabat jauh bumi mendatanginya. Mereka mencium dataran Siberia, padang Mexico, atau sekadar lewat memperlihatkan ekor mereka yang terbakar rindu. Sayangnya ciuman itu mendarat ketika sudah ada saudara evolusi kita, Dinosaurus. Mereka pun punah tinggal fosil. Kita, manusia, tinggal tunggu waktu karena saudara jauh bumi itu banyak, sebanyak bintang-gemintang yang sanggup kita hitung. Ada yang kecil, ada lebih banyak yang besar-besar.

Sungguh GR bila kita pikir manusia itu luar biasa. Manusia tak lebih setitik debu di Sahara semesta. Tanpa kita, semesta raya tidak akan bersedih. Betapa GR bila kita pikir kita itu penting. 15 milyar tahun tanpa manusia, semesta raya tidak kebingungan. Tanpa doa-doa manusia, semesta akan tetap seperti kodrat dirinya yang terus bergejolak karena kontradiksi internalnya.

Salawat serta salam teruntuk nabi penghabisan bagi penghuni bumi dan walinya yang menguak rahasia dialektika dan hukum kontradiksi semesta raya dan kehidupan manusia serta mengajarkan perjuangan menuju masyarakat tauhidi. Amin.

Rabu, 02 Juli 2008

Kawan Saya Baru Saja Mati

Saya baru dari pemakaman, nak.
Yang dikubur itu teman;
teman sejak delapanpuluhan.
Kita teman sama kerja di jalan, nak.
Dia sih sakit sudah lama dibiar saja.
Apadaya kita orang susah.
Biar batuk, kita musti nyapu
dari subuh sampe jam sepuluh.

Ke dokter dia tidak.
Ke dokter kita jarang.
Ongkosnya, nak... masya allah.
Tapi namanya orang susah.
Kita sakit musti terus kerja.
Buat kita, sakit itu kalau sudah tidak gerak.
Maklum nak, kita dibayar harian.
Kalo absen sehari, tujuh ribu tidak ada.
Masih untung ada kerja, nak.
Pak mandor yang kasih berkah.
Daripada ngemis, bikin malu sanak di desa.

Ya nak, kawan saya baru saja dikubur.
Saya lihat badannya kurus dibungkus.
Dua hari jasadnya belum diurus.
Katanya musti bayar ini-itu.
Terpaksa kita utang dulu
biarpun ndak tahu kapan disaur.
Istrinya mati duluan tahun lalu.
Ketabrak mobil sedan biru,
waktu nyapu dari subuh sampe jam sepuluh.
Saya sih... tinggal tunggu waktu... nak.

Pasar Beringharjo, 26 Juli 2008

Selasa, 01 Juli 2008

Perihal Demokrasi Borjuis

Demokrasi yang sekarang dijalankan di banyak negara dunia ketiga lebih merupakan dalih ajaib daripada kenyataan. Dengan dalih demokrasi, negara maju mengecam Indonesia. Tapi jelas sekali bukan dengan dalih demokrasi, CIA menumbangkan Allende dan menggantinya dengan Jendral Pinochet yang bengis, mendudukan Marcos sebagai despot lalim buat Filipina, atau memajukan Soeharto sebagai sultan Indonesia. Jelas bukan pula karena Kuwait itu negara demokratis hingga Amerika habiskan miliaran dolar untuk membelanya dari caplokan Irak.

Di Indonesia dan di negara-negara figuran dalam drama kapitalisme tua, cita-cita Francis Fukuyama sedang dijalankan sebaik-baiknya. Nabi blasteran Jepang pembawa wahyu neoliberal itu bilang bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme merupakan capaian terakhir sejarah umat manusia. Tidak akan ada lagi sistem politik dan ekonomi yang baru dan melampaui keduanya. Sejarah manusia sudah selesai di sini. Babak selebihnya hanyalah catatan kaki dan perbaikan kecil-kecilan. Tidak akan ada bisa mengubah kenyataan ini. Karena semuanya sudah suratan takdir historis. Pandangan sejenis ini persis seperti yang dianut kaum fundamentalis agama dan Marxis ortodoks. Bedanya, bila kaum fundamentalis melihat ke masa lalu dan Marxis ortodoks melihat ke masa depan, maka Fukuyama melihat ke sekarang.

Benarkah demokrasi liberal takdir terakhir perjalanan manusia yang harus dianut semua jenis mahluk berkaki dua yang ajaib ini di delapan penjuru mata angin? Suatu kali, Muhammad Iqbal bilang “Demokrasi borjuis cenderung memperkuat semangat percaya bulat-bulat pada hukum formal. Kepercayaan pada hukumnya sendiri tidaklah jahat, tapi sayangnya ia cenderung mengganti sudut pandang moral murni dan menyamakan sesuatu yang ilegal dengan sesuatu yang salah secara moral.”

Minggu, 29 Juni 2008

Buat Wagiyem

Yem, aku sudah kerja
Jaga wc di stasiun kereta
untung, daripada minta-minta

Yem, aku sudah bergaji
Tujuh ribu sehari
lumayan buat nahan mati

Yem, aku lihat kamu nggembol karung
Berapa kilo rongsok kau kumpul
Pasti berat ya semua kau panggul
di pundakmu yang kurus itu

Yem, aku pengen bantu
tapi kakiku sebelah buntung
bekas ketabrak dahulu
mobil itu lari, kamu tahu

Yem, kita musti sabar hati
karna gusti sudah janji
dia sayangi sabarnya insani
yang ikhtiar tiap hari

Yem, kita harus kuat
Semua ada hikmahnya
Kalo tidak ada,
pasti gusti juga

Stasiun Tugu, 26 Juli 2008

Rabu, 25 Juni 2008

Surat Pengakuan

Bersama lembar kertas berisi puisi, saya juga temukan lembaran kertas robek yang berisi tulisan sebagai berikut:

Bagi kami, ateisme bukanlah kepercayaan bahwa tidak ada Tuhan, tapi tiadanya kepercayaan terhadap Tuhan. Kami ateis bukan karena kami betul-betul yakin 100% bahwa tidak ada Tuhan. Bagamana mungkin membuktikan ketiadaan Tuhan? Kami ateis karena ada sedikit saja bukti di sekitar kehidupan kami mengenai keberadaan-Nya. Kami ateis juga karena ada sedikit saja bukti di sekitar kehidupan kami bahwa agama itu penting artinya bagi kemanusiaan. Kami sendiri terbuka bila memang ada bukti-bukti yang meyakinkan bahwa Sesuatu itu ada. Selama tidak adanya bukti-bukti tersebut, kami tidak akan mempercayai keberadaan-Nya.

Bagi kami juga, ateisme bukanlah kepercayaan bahwa Tuhan itu tidak ada, tapi lebih sebagai tiadanya kebutuhan akan Tuhan. Kami ateis karena Tuhan tidak kami butuhkan, entah Dia ada atau tidak kami tidak peduli. Kami tidak peduli apakah ada surga bagi kebaikan kami dan ada neraka untuk ketidakbaikan kami. Kami hanya berusaha hidup di dunia ini sebaik-baiknya bagi kemanusiaan tanpa peduli apakah ada kehidupan di dunia lain atau tidak.

Surat buat Tuhan

Kutemukan puisi berima indah:

A Letter to God
karya S.R. Garg

My dear God, I ask you,
Simple questions, only a few.

You are said to be every where,
But your management is not fair.

Robberies, thefts, rape and abduction,
Cheating and looting, injustice, corruption.

Slaughter and murder for sacrifice,
You are witness to all this vice.

Carried on proudly in your name,
It is a matter of sorrow and shame.

You throw the rain without plan,
Floods and famines afflict the man.

You cannot defend any temple or church,
And leave your devotees in the lurch.

During fanatical religious crusades,
The Holy places are ruined by raids.

When any man is planning a crime,
He should be checked at that time.

Why to give a chance for vice,
Then to punish with some device.

People are punished for their deed,
Without giving any chance to plead.

Punishment blind and unjustified,
Is resented and sometimes defied.

As avtars are sent without intimation,
They have to face challenge & condemnation.

To a certain region, they are confined,
The world at large, they do not mind.

Why so many different religions grew,
One Religion and one Book could do.

If all of them are true and right,
Why then, for conversion they fight?

Heaven is blessed with streams of wine,
Sexy Nymphs, beautiful and fine.

A pious noble and a virtuous man,
Can't relish such a lusty plan.

Bhagawans and Gurus, under your name,
Befool the people and cunningly tame.

These religious shops of different 'make',
Are not known whether genuine or fake.

You are the product of imagination,
Without any logical confirmation.

You are believed as mover, unmoved,
Your existence has not been proved.

Let me know your whereabouts,
So that I may shed my doubts.

If within a month, I do not hear,
Your non-existence will be clear.

Kamis, 19 Juni 2008

Andai Kau Ada di Sini

di kakimu, matahari pergi dan datang
pembual mondar-mandir bawa timbangan
jembel-jembel gentayangan cari makan
setan bersayap malaikat keliling bagi-bagi remah
sudah berapa lama sih sejak spartakus?
buatku lama betul kejadian itu
bagimu mungkin sekejap melulu

sekarang beras mahal
nyawa bayi murah-meriah
hidup dibuang seperti sampah
kau sepertinya tidur terus
coba deh lihat di bawah kakimu
sesekali tengok kami di situ
atau kirim sms soal maksudmu

kau sih enak terlalu mahaesa
belum pernah rasakan perang
di sini, orang maen gebuk atas namamu
apa kau tidak menyesal bikin ayat-ayat provokatif?
atau memang biar kau ada kerjaan?

andai saja kau ada di sini, di bumi ini... tuhan

Primum vivere, deinde philosophari

Selain tidak bermanfaat dan agak berbahaya, filsafat juga ternyata mahal. Jarang ada tokoh filsafat taraf dunia yang berasal dari keluarga kere. Plato anak bangsawan. Ibunya masih kerabat dengan Solon, pembuat undang-undang termasyur itu. Hegel, Marx, Sartre, atau Kierkegaard juga tidak begitu jauh jalan ceritanya. Paling-paling, ada Kant yang anak tukang atau Spinoza yang setelah dikafirkan dari sinagoganya menghidupi diri sebagai tukang asah gelas dan kacamata. Mengapa filsafat mahal? Ingat, filsafat itu tidak berguna untuk kehidupan sehari-hari. Teramat sedikit golongan manusia di muka bumi ini yang perlu filsafat. Segala yang tidak berguna itu biasanya mahal. Batu permata dan politik itu mahal karena tidak berguna.

Mahalnya filsafat juga karena ada prasyarat fisiologis bio-kimia yang mesti terpenuhi dulu. Kita mesti sudah selesai soal pasokan karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin serta keterjaminannya bukan sekadar satu-dua hari ke depan. Selain itu, ada pula prasyarat sosialnya. Kita mesti sudah siap melarikan diri dengan selamat kalau-kalau masyarakat mengutuk pemikiran kita. Untuk bisa kabur, kita tidak hanya perlu ongkos, tapi juga teman-teman yang terjalin dengan baik. Semua itu butuh biaya (waktu luang dan uang). Dengan lain kata, ongkos produksi untuk menghasilkan filsafat itu tinggi. Tepat betul pesan Schopenhauer, “Primum vivere, deinde philosophari” (Hidup dulu, baru berfilsafat).

Rabu, 18 Juni 2008

Awas Ada Pertanyaan!

Kemarin saya sudah tahu bahwa filsafat itu agak berbahaya buat kawula muda. Buat apa sih cari jawaban sendiri segala macam pertanyaan mendasar. Untuk soal “siapa sih manusia? atau benarkah tuhan itu ada?”, sepertinya saya tidak perlu susah payah mikirin sendiri. Di dunia ini sudah banyak hamparan jawaban yang tinggal kita copy-paste. Semua agama resmi punya berkarung-karung jawaban siap pakai. Kita nggak perlu sok kreatif dalam hal-hal mendasar hidup kita ini. Terima saja jawaban-jawaban yang sudah lumrah supaya kita tidak banyak bedanya dari orang-orang sekitar. Beda soal gaya rambut nggak terlalu masalah, tapi kalo beda pemikiran soal tuhan, bisa digebuk bambu runcing.

Tapi namanya juga manusia itu mahluk yang lemah. Ada saja godaan setan yang menyusup ke relung batin. Seringnya, godaan itu mewujud dalam pertanyaan-pertanyaan iseng. Misalnya begini: waktu sendirian kepikiran juga “sebenarnya apa sih alasan saya lahir pada waktu itu dari keluarga yang itu di kampung yang itu?” Seandainya boleh milih, saya akan pilih lahir di Cina sekitar abad ke-13 supaya saya bisa bahasa Cina dan kenalan sama Jenghis Khan. Nyatanya saya tidak bisa milih. Terus ada yang membisiki, “Siapa sih kamu ini sebenernya? Buat apa kamu ada di dunia ini? Apa sama saja kamu dengan burung puyuh itu yang lahir, besar, tua, lalu mati? Setelah mati, kamu akan jadi seperti apa? Apa bener jadi roh yang ditimbang-timbang amalnya? Atau cuma jadi rantai-karbon yang jutaan tahun ke depan jadi BBM? Kalo bener manusia itu ciptaan Tuhan, apa susahnya sih Dia susupkan gen kasih sayang tanpa syarat supaya manusia ngga saling gebuk? Kalo kekerasan itu untuk ujian bagi yang beriman, apa susahnya sih Tuhan yang Mahakuasa itu ngasih ujian lain selain kekerasan dan kebrutalan? Kalo semua pasti ada hikmahnya, apa susahnya sih Dia tentukan hikmah yang ngga pake berdarah-darah? Jangan-jangan xxxxx xxx Tuhan?!”

Minggu, 15 Juni 2008

Qui peur de la philosophie?

Siapa sih yang takut filsafat? Ini judul tulisan Jacques Derrida, dedengkot filsafat dekonstruksi dari Prancis. Isinya pembelaan terhadap pengajaran filsafat di tingkat sekolah menengah atas. Mengapa mesti dibela? Karena waktu itu filsafat dipertanyakan manfaatnya. Konon, para pengusaha dan pejabat-pejabat pemerintah bertanya, “Buat apa sih filsafat diajarkan?” Sinis, memang. Tapi pertanyaan mereka banyak benarnya juga. Sepanjang sejarahnya, filsafat cuma mengajarkan sejarah dirinya sendiri. Para filsuf pun tidak punya satu kata sepakat mengenai buat apa memberi pelajaran filsafat. Jangankan soal manfaat filsafat, untuk batasan ‘apa sih filsafat itu?’, para filsuf sudah kelabakan menjawab. Dari abad ke abad, simbah peluh tampaknya tidak kian susut saat para filsuf membincangkan filsafat itu sendiri.

Secara positif memang sukar menakar guna filsafat buat kehidupan sehari-hari kita. Paling-paling, kita menelusurinya lewat jalan putar, terutama secara negatif. Secara negatif, belajar filsafat tidak bisa bikin orang lihai membuat blog. Dengan belajar filsafat orang tidak akan ahli memasarkan kosmetik. Membaca buku filsafat dan merenungkan pemikiran di dalamnya bukan pula acara hiburan menyenangkan. Lho, mengapa tidak? Karena filsafat itu seperti godam terhadap tembikar atau arit terhadap rerumputan. Bila sungguh-sungguh, filsafat bisa memreteli pandangan-pandangan yang sudah umum dianggap biasa, termasuk yang kita pahami sebagai sesuatu yang semestinya. Filsafat sama sekali bukan hiburan karena melelahkan jiwa dan raga. Ia membawa kita ke dunia antah-berantah tanpa ada ujungnya. Karena reflektif, filsafat isinya cuma pertanyaan karena yang isinya jawaban itu agama. Lebih parah lagi, pertanyaan-pertanyaannya beranak-cucu sangat panjang. Merleau-Ponty, filsuf Prancis temannya Sartre, pernah bilang, “... bila kita mulai berfilsafat, maka kita belum tahu di mana perjalanan akan berakhir.” Dengan lebih serem lagi, Bertrand Russel juga pernah bilang, “siapa pun yang ingin menjadi filsuf, harus belajar tidak takut pada absurditas-absurditas”. Bukannya memberi jawaban, filsafat malah menyediakan pertanyaan. Cari-cari kerjaan!

Nah, itulah sebabnya tak sedikit orang mempertanyakan untuk apa belajar filsafat. Tapi alhamdulillah, kita di sini, di Indonesia, tidak wajib belajar filsafat. Para siswa sekolah menengah di Prancis wajib ikut pelajaran filsafat. Runyam urusannya kalo itu diterapkan di Indonesia. Bagaimana tidak, dengan diwajibkannya pelajaran filsafat, bisa-bisa kelakuan anak-anak muda kita jadi aneh. Mereka tidak akan lagi tempur antar-genk atau tawuran antarsekolah dan malah diskusi soal “Apa sih cinta itu?”, “Apa sih hakekatnya?” Apakah benar cinta itu soal hati, ataukah cuma kumpulan reaksi bio-kimia saja?”, atau yang lebih parahnya, bisa-bisa mereka berdiskusi di kantin soal Tuhan, “benarkah Tuhan itu Mahakuasa?”, “Sebetulnya Tuhan itu apa sih? Hukum Alam?, Roh Absolut? atau justru sebenarnya tidak ada Tuhan?”, dst. Untungnya semua itu tidak terjadi karena di Indonesia yang wajib adalah belajar agama.

Rabu, 11 Juni 2008

Richter

Tuhan tidak ada
Tuhan telah mati!
Surga kosong
Menangislah wahai anak-anak,
Kalian tidak memiliki Bapak!
(Jean-Paul Frédéric Richter)

Selasa, 10 Juni 2008

Bilik Bambu yang Terbuat dari Bambu

Aku seorang pembuat bilik bambu. Sudah puluhan tahun aku mencari nafkah dengan membuat dan menjual bilik-bilik bambu. Bilik-bilik itu kubuat dari batang-batang bambu yang harus kubeli. Sebilah bambu harus kubeli seharga 5000 rupiah dari tetanggaku yang punya kebon bambu. Untuk membuat selembar bilik bambu, paling tidak aku butuh satu bilah. Karena usiaku sudah tak muda lagi, biasanya dalam sepuluh hari aku hanya mampu membuat dua lembar bilik. Kemiskinan telah memeras tenagaku hingga tetes terakhir. Dari rumahku di lereng Manglayang, bilik-bilik bambu yang sudah jadi kupanggul ke daerah permukiman. Siapa tahu di sana ada yang membutuhkan. Minggu ini, kubawa dua lembar bilik bambu. Sudah tiga hari lebih aku berkeliling menjajakannya tanpa laku selembar pun. Jaman sudah berubah banyak sekali. Sekarang orang lebih banyak yang membangun rumah gedong. Sedikit sekali mereka memerlukan bilik-bilik bambuku. Sementara itu hidupku dan hidup keluargaku terus saja dirundung kemiskinan. BLT memang memberiku uang tunai. Uang itu bisa kugunakan untuk membeli beras yang sekarang harganya 5000 rupiah per liter. Selain juga untuk melunasi hutang-hutangku di warung langganan. Dalam harap aku bayangkan: bila dua lembar bilik bambunya laku, aku membawa pulang 20-40 ribu rupiah. Tapi entah hari keberapa keduanya laku.

Aku punya lima orang anak. Kini semuanya sudah berkeluarga. Aku punya 12 cucu sekarang. Seperti juga aku, anak-anakku hampir semuanya mencari nafkah dengan membuat bilik-bambu. Sekarang mereka masih muda-muda. Tidak sepertiku yang hanya mampu panggul dua lembar saja, mereka masih mampu membuat dan memanggul enam bilik untuk dijual. Tapi seberapa lama mereka mampu bertahan?

simpan

simpan nyawamu sampai selasa
karena duka adalah irama